Bag 49 (FB 3)

326 28 2
                                    

Beberapa luka lebam di punggung dan lengan berusaha Dara sembunyikan di balik jaket yang membalut seragam ketika berjalan sendirian memasuki pintu gerbang sekolah.

"Hei. Tugas beres belum?" Wika tiba-tiba menghampiri dan menepuk punggungnya dari belakang untuk menyapa. Sontak Dara terperanjat menahan sakit pada bagian tepukan itu.

"Aw!"

"Kenapa?" Sang kawan melihat wajah yang tampak murung di cuaca pagi yang masih sejuk.

"Kemarin abis jatuh."

"Ya ampun. Maaf ya, Ra. Jatuh di mana?"

"Kepeleset di rumah."

Dara tak mau kondisi tubuhnya sampai diketahui oleh siapapun. Wajah bengis pria itu selalu terbayang-bayang kala ingin berterus terang menceritakan hal yang telah terjadi. Batinnya kian tersiksa. Bahkan sepanjang jam pelajaran, ia menjadi sulit berkonsentrasi. Prestasi akademiknya menjadi menurun.

Secara rutin Angga masih mengantar jemputnya ke sekolah. Bagaimanapun ia harus memantau semua aktivitas sang anak gadis. Memastikan jika semua rahasia yang mereka berdua simpan tidak bocor.

Begitu juga Dara yang harus berpura-pura dalam keadaan baik setiap kali orang-orang melihat dirinya bersama sang ayah sambung. Sepulang sekolah, Angga menjemputnya di depan halte. Terlihat di sana, Dara baru saja duduk berbincang bersama seorang gadis berseragam SD. Lalu membawa sekotak makanan ke dalam mobil. Wajahnya tampak lebih berseri dari sebelumnya.

Pria yang menjemput turut senang melihat aura ceria yang ditampakkan Dara.

"Baru dikasih makanan ya? Apa tuh, boleh coba gak?" Angga mengajak bicara, namun wajah berseri itu malah berubah menjadi murung lagi.

"Boleh. Tapi anterin ke rumah sakit. Aku pengen ketemu Niki."

"Oke kalau gitu. Tapi sampai sore udah pulang ya."

Rute yang dilewati berbelok ke jalanan kecil yang sepi dan minim cahaya. Mobil tiba-tiba berhenti yang lantas membuat Dara heran.

Gelagat aneh semakin ditunjukan Angga, ia menyalakan kamera ponsel dan menaruhnya di atas dasbor mobil. Lalu menoleh ke belakang dan beranjak berpindah tempat duduk di samping Dara. "Sayang, sebelum Papa anterin, gimana kalau kita main lagi." ucapnya lembut sembari merangkul si anak gadis.

Dara melepas rangkulan dan mendorong tubuh pria itu agar menjauh. "Gak mau, Pa. Gak mau di sini."

"Masa gak mau sih? Ayo buka." Angga mulai membuka kancing atas seragam sekolah yang sontak membuat Dara spontan melemparkan sekotak risol ke wajah pria bajingan itu.

"Gak mau! Pergi!"

Namun Angga tetap memaksa meski gadis yang ia sentuh mencoba membuka pintu mobil kabur. Dari gantungan kunci yang tersimpan di saku kemejanya, pria itu menekan sebuah tombol yang membuat pintu mobil terkunci otomatis. Lalu kembali menahan tubuh si gadis remaja hingga menempel ke sisi pintu mobil. Dara masih mencoba berontak, namun Angga semakin kuat menahan tubuhnya dan membekap mulutnya agar tak berteriak. Suasana di luar mobil tampak sunyi. Tak ada satu orang pun di luar yang mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam mobil hatchback hitam yang tengah parkir sembarangan 

Setiba di kamar pasien, Dara melihat sang ibu yang duduk menemani Niki mengobrol di samping tempat tidurnya. Kedatangan Dara bersama sang ayah sambung seolah mengubah suasana yang sebelumnya tampak sepi. Wanita berjas putih itu langsung bangkit dan berjalan menghampiri anak sulungnya. Ia melihat raut wajah Dara yang lesu dengan seragam putihnya yang tampak lebih kusut.

"Eh Dara, sekarang giliran kamu temenin Niki ya. Mama mau lanjut kerja."

Yang disapa hanya menjawab dengan anggukan lesu yang lantas membuat ibunya merasakan ada hal aneh.

"Kamu kenapa? Lagi gak enak badan?" Sambil menyentuh kening Dara.

Darq melirikkan mata ke samping merasakan pria yang sedang berdiri di belakangnya. Lalu kembali menatap sang ibu. "Gak apa-apa kok, Ma."

Tangan yang menyentuh kening beralih menggenggam lengannya. "Kamu makin kurus. Jaga kesehatan ya. Mama gak pengen kamu juga sakit."

"Jangan khawatir. Dara aku perhatiin kok pola makannya." Angga menimpali seraya menyunggingkan senyum pada sang istri.

"Kamu jagain terus ya, Mas. Jangan sampai Dara sakit juga." Lalu bersiap pergi meninggalkan ruangan.

"Dara, kamu temenin Niki ya. Nanti pulangnya bareng sama Mama."

Sang ibu berjalan didampingi suaminya saat meninggalkan ruangan. Saat itu menjadi kesempatan Angga untuk menceritakan sikap sang anak tiri untuk memutar balikkan fakta. "Sayang, kamu coba deh nasihatin Dara biar dia sopan sedikit sama aku. Akhir-akhir ini setiap aku nasihatin, dia selalu ngeyel sampai ngomong kasar."

Sementara di dalam ruangan pasien, Dara langsung duduk di samping ranjang seorang remaja pasien kanker dengan kepala tanpa rambut yang tertutupi Hoodie kaos sweater-nya. Tangisnya pecah di pelukan sang adik. Seolah melampiaskan kesedihan yang hingga kini belum bisa ia ceritakan secara langsung.

"Kak, kenapa nangis? Aku udah mendingan kok. Gak ngedrop kayak kemaren lagi."

"Kakak pengen di sini terus, gak mau di rumah."

"Loh, emang kenapa?"

Pertanyaan polos itu tak dijawab apapun. Dara terus memeluk seraya terisak tangis hingga merasa lega. Ia menyeka air matanya sendiri. Lalu tersenyum tegar ketika mulai mengajak sang adik untuk berbincang dan menonton film kartun bersama di laptop milik ibunya.

Tak terasa mereka saling menemani hingga hari telah gelap. Sang ibu menanggalkan jas putih saat mengajak anak sulungnya pulang bersama meninggalkan rumah sakit. Sementara Niki ia titipkan pada semua dokter dan perawat yang masih berjaga.

Ketika mulai mengemudikan mobil, ia melirik sinis sejenak pada anak gadis yang duduk di sampingnya. "Dara, Mama ngerti kalau kamu belum bisa nerima Papa Angga. Tapi tolong jaga sikap ke orang tua. Papa bilang kamu suka ngeyel setiap dinasihatin. Bahkan suka ngomong kasar."

Batinnya terhentak, mendadak Dara merasakan lidahnya kelu usai mendengar cerita itu. "Aku... pengen Mama cerai sama dia. Kita gak butuh orang kayak dia Mah."

"Dara! Mama cuma minta kamu jaga sikap! Kamu gak sepantasnya ngomong kasar kalau dikasih teguran. Papa waktu itu jemput kamu ke sekolah, tapi kamu malah keluyuran ke tempat lain."

"Mama gak ngerti!"

"Mama gak ngelarang kamu main sama temen, yang penting harus izin dulu! Nilai pelajaran kamu juga jadi jeblok. Mama cape ngurus Niki di rumah sakit, kamu malah main terus sama temen."

"Dara bosen di rumah terus, Mah."

Sang ibu menghela napas menahan lelah sekaligus mencoba mengerti apa yang dirasakan putri sulungnya. "Dengerin ya, Dara. Kamu boleh main sama temen seminggu sekali aja, dan harus pulang di bawah jam 6 sore. Waktu lainnya tolong pergunakan sebaik mungkin buat belajar. Mama pengen kamu bisa masuk universitas negeri. Kamu masih jadi harapan terbesar buat Mama."

Dara memilih terdiam menghentikan perdebatan. Suasana di antara mereka berubah kaku. Bahkan gadis remaja itu tak mau berbicara apapun lagi hingga tiba di dalam rumah.

Waktu makan malam bertiga diisi dengan penuh rasa canggung. Ia tak mau lagi bertatapan dengan pria yang kini telah mengendalikan hidupnya. Berlanjut memasuki kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Duduk meringkuk di atas tempat tidur. Perasaannya kembali terasa hancur. Tangisnya pecah tersedu-sedu. Dua tangannya menggenggam rambut sebahunya hingga kusut. Merasa jijik pada dirinya sendiri.

Tak tahu lagi bagaimana cara untuk mengakhiri penderitaan. Penglihatannya memutar ke beberapa arah hingga terhenti ketika melihat salah satu benda yang tersimpan di dalam tempat pensil. Menggeser tuas pada benda itu dan tampak logam pisau pemotong kertas yang masih tajam dan mengkilat.

Mungkin dengan cara ini, ia bisa mengakhiri penderitaan yang terus merundung jiwa. Dengan melepaskan roh yang ada di dalam raga. Dara memejamkan mata kala logam tajam siap mengiris urat nadi di lengan kirinya.

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang