Bab 10 -Tidak bisa memiliki-

1.8K 165 0
                                    

Ketika jatuh cinta, terkadang mereka akan menabrak semua aturan bahkan melawan arus.


Marissa berulang kali membolak-balik beberapa halaman laporan. Baru kali ini ia merasa muak demgan semua angka juga tulisan yang tertera di sana.

Ia menunduk, menumpu kening pada genggaman tangan.

Apa sebaiknya aku resign saja? Mumpung mood Mas Bian sedang bagus, batin Marissa.

Ia memijat pelan kening. Berbagai alasan untuk menjaga janin atau menggugurkannya bergantian hadir di benak terdalam Marissa.

Sampai detik ini, ia tidak mampu menjawab pertanyaan; bagaimana kalau ternyata janin ini adalah milik Samuel?

Kepalanya menoleh kala terdengar  sayup-sayup keributan di luar ruangan. Bergegas ia bergegas bangkit menuju pintu.

Pupil matanya melebar tatkala melihat Lusi berusaha menghalangi langkah seorang wanita.

“Erika?” gumamnya.

Erika melemparkan pandangan pada Marissa. Langkahnya berderap tanpa keraguan mendekati Marissa.

Mata mereka saling beradu. Tamparan keras di pipi Marissa membungkam semua orang yang menatap.

Cepat dan menyakitkan.

Marissa masih menunduk, tangannya gemetar mengusap pipi sekaligus berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Aku selalu mendengarmu dari mulutnya, selama ini mengira kalian dekat sebagai sahabat! Bodoh! Bodohnya aku!! Apa yang kurang dari suamimu hingga kamu menginginkan suami orang lain?" cecar Erika disela tangis.

Letupan dalam dada Marissa meledak seketika. Tampa sadar ia balas melayangkan tamparan pada pipi Erika.

"Jaga ucapanmu!" marah Marissa.

Tubuh Erika melorot, menangis layaknya seorang anak kecil yang kehilangan mainan. Tergugu, meraung-raung sembari menunduk pilu.
Sementara Marissa dengan kedua mata yang sudah panas, berusaha mencari pegangan, dadanya naik turun tanpa lagi bisa mengucapkan sepatah kata.

Bian berlari sekencang yang ia mampu setelah mendapatkan kabar bahwa terjadi keributan di lantai empat belas yang melibatkan istrinya.

Untuk beberapa detik ia tertegun menatap kerumunan pegawai kemudian berdeham kencang agar mereka membuka jalan. Dilihatnya sang istri  bertumpu pada Lusi dan Erika yang menangis terduduk di lantai.

"Kembali bekerja!" titahnya pada pegawai yang menantikan kelanjutan kejadian ini.

Mereka membubarkan diri, tetapi tetap mencuri pandang untuk menatap Bian yang berjalan mendekati Erika.

Perlahan, setengah berjongkok di hadapan Erika, ia berkata, "Bangunlah. Hentikan, hargai dirimu sebagai wanita terhormat juga martabat suamimu."

Seketika Erika mendongak, menatap mata Bian lalu menerima uluran tangannya.

Sejurus kemudian Bian menatap Marissa. "Lusi, tolong buatkan teh manis hangat," Lusi mengangguk lalu berlari pergi sementara Bian menggenggam erat tangan Marissa. "Kita perlu luruskan masalahnya," bujuk Bian.

***

Mereka sudah duduk saling berhadapan, perlahan Lusi meletakkan tiga cangkir teh manis hangat. Bian mempersilakan Erika untuk minum terlebih dahulu. Sejenak Bian menarik napas panjang lalu menatap Marissa yang tiba-tiba seperti menahan sakit sambil terus-menerus mengusap perut.

"Kenapa?" tanya Bian pelan sembari mengusap perut Marissa. Tidak ada jawaban. "Nanti sore kita ke dokter, ya?” tambahnya lagi.

Marissa mengangguk pelan.

"Anak itu bukan anakmu, Mas!" tuduh Erika.

Mata Bian membulat, tangannya ikut terkepal kencang, sementara Marissa diam, tidak sanggup menyanggah tuduhan Erika.

Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menarik napas panjang. Rasa sakit itu kembali datang, semakin kuat, semakin meremas ulu hati. Memaksanya untuk menatap Marissa. Menatap dia yang diam membisu di saat seharusnya berteriak lantang, menjambak rambut Erika, mengatakan dengan tegas bahwa janin itu adalah miliknya! Milik suaminya! Rakabian Soejarmoko!

"Lusi, kamu sudah telepon Pak Samuel? Meminta dia untuk menjemput istrinya?" tanya Bian melayangkan hunjaman tajam pada Erika.

"Iya, Pak. Beliau menuju ke sini," jawab Lusi.

"Terima kasih, bisakah keluar dari ruangan ini? Lalu pastikan enggak ada yang mengganggu kami,” titah Bian.

"Baik, Pak,” jawab Lusi, segera keluar dari ruangan, sesekali menengok—memastikan Marissa baik-baik saja.

"Jadi, apa yang bisa kamu jelaskan?" tanya Bian yang dijawab derai air mata oleh Erika. Bian memijat pelan keningnya. "Jangan menangis, ada apa?" Bian coba untuk tidak menghakimi Erika.

"Beberapa hari ini, Mas Samuel bersikap aneh. Sampai dua hari yang lalu tiba-tiba dia mengatakan akan menceraikan aku!" ungkapnya sembari tersedu.

"Lalu apa hubungan Marissa dengan itu? Samuel sudah dua kali bercerai, dan Marissa enggak pernah terlibat dalam perceraian Samuel,” bela Bian, “bahkan dahulu, Samuel yang meninggalkan Marissa di hari pernikahan mereka,” tambah Bian.

"Enggak! Tentu saja dia terlibat! Mbak Natalia sudah menjelaskan semuanya padaku!!" seru Erika.

"Natalia? Mantan istri Samuel?" tebak Marissa yang memberanikan diri bersuara.

"Ya! Kenapa? Kaget kalau aku bisa tahu Mbak Natalia? Mantan sahabat yang Mbak tikam sendiri!" tuduh Erika lagi.

"Apa maksudmu? Aku enggak pernah melakukan semua yang kamu tuduhkan! Bahkan, aku sendiri yang waktu itu menjodohkan Natalia dengan Samuel! Aku juga kecewa karena pada akhirnya mereka bercerai!" sangkal Marissa.

"Alah, enggak usah munafik, Mbak! Mbak itu sengaja comblangin mereka dengan tujuan supaya dekat lagi dengan Mas Samuel, ‘kan? Untuk meneruskan hubungan kalian!" lanjut Erika.

"Kamu ngaco!! Jangan ngomong yang enggak-enggak! Ini fitnah namanya! Kamu punya bukti apa?" tantang Marissa.

Erika menunjuk perut Marissa. "Bayi yang Mbak kandung adalah anak Mas Samuel, ‘kan?" tuduh Erika.

"Erika!!" teriak Samuel yang memasuki ruangan dengan wajah merah padam. Ia menarik tangan Erika. "Ayo ... kita selesaikan di rumah," ajaknya dengan suara merendah, berharap Erika mau menurut.

"Enggak! Aku harus tahu alasan kamu ingin menceraikan aku, Mas!" desak Erika.

"Kita bicarakan hal ini di rumah. Ayo," bujuk Samuel dengan cepat.

"Enggak! Di sini, Mas! Marissa harus ikut bertanggung jawab! Setidaknya suaminya harus tahu kelakuan bejat istrinya!" tolak Erika.

Erika meraba pipi yang panas akibat tamparan Samuel. Bibirnya ikut gemetaran karena menahan amarah sekaligus kekecewaan pada sosok pria yang sangat dicintai.

Erika meraih tas, berlari pergi meninggalkan semua yang masih terdiam.

"Aku minta maaf atas semua yang diucapkan Erika,” mohon Samuel, "Marissa, maaf harus melibatkan kamu," tambahnya.

"Aku enggak ingin mendapatkan penjelasan darimu, istriku tentu bukan seseorang yang enggak bisa menjaga harkat martabat dirinya dan suami. Kelak, jangan ada hubungan lagi di antara kita selain rekanan bisnis. Maaf, Mas. Aku enggak ingin masalah antara kamu dan Erika mengganggu perkembangan bayiku. Sekarang, lebih baik, Mas kejar Erika lalu selesaikan masalahnya." timpal Bian.

Samuel menunduk lalu pergi tanpa sanggup menatap Marissa.

“Jadi—“

Marissa dengan cepat bersimpuh di hadapan Bian. Meraih tangannya erat-erat. "Mas, aku bisa jelaskan," mohonnya.

Bian coba tersenyum lalu menggenggam erat kedua pundak Marissa. "Kita pulang, bicarakan ini di rumah saja," bisiknya.

Biasanya, perjalanan mereka dipenuhi canda, paling tidak Marissa akan sesekali bergelayut manja dan setiap sudut mobil ini dipenuhi debaran cinta. Namun, kali ini mereka berdua terdiam. Bian coba meredam setiap emosi dalam dada. Marissa juga sekuat tenaga menahan ledak tangisnya.

Mobil Bian berhenti di pekarangan rumah bercat putih bersih dengan tumbuhan merambat di sisi kanan pagar.

"Kamu yakin enggak mau ke dokter?" tanya Bian sembari menatap lembut istrinya.

"Enggak, Mas, sungguh, aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.

Bian tersenyum lembut kemudian mengusap kening Marissa, menyusuri setiap helai rambut halus di wajah istri tercintanya.

"Marissa, maaf, aku hargai keputusan kamu dan Samuel untuk tetap bersahabat setelah kalian putus, tetapi enggak semua yang dekat dengan kalian akan menyukai ide itu, bolehkah aku minta satu hal darimu? Hanya satu hal saja," pintanya pelan.

"Apa, Mas?" jawab Marissa dengan bibirnya yang gemetar.

"Jangan bahas masalah ini lagi, cukup. Anak itu adalah anakku, aku enggak meragukan kesetiaan kamu, Erika hanya salah paham. Masalah mereka biar saja, jangan ikut campur lagi, oke?" Bian mengecup bibir istrinya juga perlahan mengusap perut lalu kembali menatap jauh ke dalam mata Marissa. "Jangan tinggalkan aku. Jangan pernah lakukan itu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu,” pintanya lagi sembari mengusap air mata Marissa.

Marissa mengangguk, kemudian mendekap Bian erat-erat.

"Aku harus kembali ke kantor, nanti malam aku pasti makan di rumah, kamu baik-baik, ya?" lanjut Bian lagi.

Marissa mengangguk kemudian keluar dari mobil, sesekali ia menengok untuk melambaikan tangan.
Bian menyaksikan istrinya masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja semuanya tumpah. Tangis serta rasa sakitnya tak sanggup lagi dibendung. Berkali-kali ia memukul setir mobil, menunduk dalam hati yang tercabik.

Hatinya tidak menginginkan perpisahan. Ia akan memaksa diri untuk meyakini bahwa anak itu adalah miliknya. 

Rasa perih itu tidak boleh mengikis cinta untuk Marissa. Istrinya begitu berharga, ia tidak ingin yang lain. Tidak butuh yang lain. Ia akan menahan meski harus terluka. Walaupun, harapan itu telah remuk, serpihannya akan tetap dijaga, sampai mati.

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang