Chapter 1

30 0 0
                                    

Suara bel memecahkan keheningan yang berlangsung sejak Mr. Song masuk mengambil alih kelas 2 jam lalu. Beberapa murid terdengar menghela nafas. Terkadang suara bel menjadi satu-satunya penyelamat jika suasana kelas berubah menjadi lebih mencekam dari biasanya. Dan itu juga berlaku untukku. Setelah 2 jam lalu menahan gugup dan kebingungan luar biasa karena pada pertemuan kali ini aku tidak terlalu mengerti materi yang diberikan Mr. Song.

Pria berumur awal 30an itu menarik buku-bukunya kembali dari atas meja. Ia melirik kami sekilas, lalu tersenyum kecil sembari merapikan beberapa kertas di dalam buku tebalnya. "Baiklah, kelas berakhir sampai sini. Sampai jumpa minggu depan." Begitulah kalimat terakhir yang ia katakan sebelum akhirnya pergi meninggalkan trauma yang pada umumnya sering terjadi pada pelajar dengan tingkat stress tinggi, mengingat sebulan lagi ujian sudah dimulai namun materi kelas kimia kali ini cukup sulit.

Beberapa murid langsung mengeluh dan sebagian yang lain berhambur keluar kelas dengan canda tawa seolah materi hari ini hanyalah lelucon konyol yang dengan mudah mereka lupakan. Aku menutup bukuku perlahan. Meletakkan kepala di atas meja sembari memijat pelipis yang sebenarnya tidak terasa sakit. Hanya saja, memijat pelipis sudah menjadi kebiasaanku ketika sedang merasa bingung atau stress. Namun kali ini sepertinya aku sedang merasakan keduanya. Bingung karena sudah 2 minggu mendalami materi, masih saja aku merasa kurang menguasainya. Dan stress karena sebulan lagi ujian akan dimulai sedangkan aku merasa kurang percaya diri. Bagaimana jika nilaiku turun lalu ibu memarahiku habis-habisan? Atau, bagaimana jika ia sampai menyita ponselku dan mengurungku di rumah sampai ujian masuk perguruan tinggi? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku hampir bercabang seperti akar pohon.

Aku menghela nafas panjang. Dengan perasaan tidak bersemangat, ku angkat bokongku yang sudah lama menempel di kursi. Bertepatan dengan itu, Lee Byounggon yang duduk di seberang mejaku juga berranjak. Membuat kami berdiri bersebelahan dengan perbedaan tinggi yang sangat jelas. Aku menoleh padanya dengan ragu-ragu. Saat itu ia menunduk untuk balas melihatku yang hanya setinggi di bawah bahunya, lalu pergi begitu saja tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang terlihat seperti hewan punah. Aku sering mendengar teman-teman lain menjulukinya dinosaurus, dan sepertinya julukan itu bukan tanpa alasan.

Jam makan siang selama 1 jam tidak cukup membuatku buru-buru mengantri makanan di cafetaria. Aku justru lebih memilih meminum susu pisang dan sosis sembari duduk di sisi belakang sekolah. Menikmati kicauan burung dan suara bising alam lainnya. Seperti suara belalang dan gemercik air dari kolam kecil yang sudah tua dan tak terawat.

Kursi kayu reot yang langsung berhadapan dengan lapangan lama sekolah ini sering menyimpan cerita seram tak mengenakan di kalangan siswa. Ada yang bersaksi pernah melihat seorang gadis berrambut hitam panjang dengan wajah pucat duduk sendiri di sini. Ada yang pernah mendengar suara pantulan basket di lapangan lama ketika petang. Bahkan ada yang tiba-tiba pingsan karena dari kejauhan melihat sosok yang sedang bebaring di tengah lapangan ketika hari mulai petang. Sebenarnya cerita itu bukan omong kosong belaka, hanya saja, kebenaran cerita itu tidak cukup untuk menghentikanku sering berkunjung ke tempat ini. Bagiku, tempat ini adalah satu-satunya tempat paling tenang di sekolah setelah lebih dari setengah waktuku ku habiskan di sekolah.

Terlalu lama melamun, membuatku lupa waktu. Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan waktu yang terlewat selama 45 menit. Aku menghela nafas panjang. 15 menit menuju pertempuran tiada batas. Aku benci harus belajar terus menerus. Aku benci harus bersaing. Aku benci harus berusaha menjadi yang terbaik. Tapi lebih dari itu, aku benci jika ayah dan ibuku marah padaku. Selama bertahu-tahun, bertahan adalah cara terbaikku menjalani hidup.

Aku kembali berjalan gontai menuju kelas. Dalam perjalananku, ku lihat Lee Byounggon mencuci wajahnya di kran air dekat lapangan utama. Ujung-ujung rambut hitamnya sedikit basah. Meneteskan air yang jatuh membasahi kaus putih yang memperlihatkan lengan bisepnya. Meskipun tidak terlalu besar, ku akui ia cukup menggoda. Aku terus memperhatikannya, dan tiba-tiba teringat sesuatu yang jarang ku sadari. Kami selalu berada di kelas yang sama sejak sekolah menengah pertama. Bahkan, ketika sekolah dasar pun kami berada di sekolah yang sama meskipun di kelas yang berbeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paper Heart (BX.CIX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang