Sejak tiga hari yang lalu, di mana Kirana dengan keberanian dan kecerobohannya berdampak pada dirinya sendiri. Setiap pulang, Raja tidak lagi memberinya tumpangan. Parahnya lagi, ketika di rumah Raja selalu bilang kalau Kirana jalan bersama temannya. Padahal, Kirana telat sampai karena kelamaan naik angkot.
Sore itu, langit tampak tak bersahabat. Setelah bel berbunyi, seperti biasa Kirana bergegas ke seberang sekolah untuk menunggu angkot datang. Namun, rintik hujan yang mulai turun ke bumi, membuat gadis itu menunggu di pendopo sekolah bersama anak-anak lainnya.
Kirana memicing begitu melihat salah seorang teman Baylor, lalu Kirana pun memanggilnya setengah teriak, "Jepri, Restu!"
Gadis itu berseri menghampiri mereka yang berhenti di atas motor.
Jefri memutar bola matanya malas, Kirana orang keseratus yang memanggilnya denga sebutan Jepri. Sungguh, Jefri mengutuk orang-orang yang salah melafalkan namanya itu.
"Je-e-je-f-ri, dibaca apa?"
"Jefri?"
"Tuh tahu!"
Restu menonjok bahu Jefri dari belakang hanya sekadar nama cowok itu ribet sekali. Netra Restu menangkap Kirana yang gusar lantas segera bertanya, "Ada apa?"
Kirana meneguk ludah. Menjawab ragu dengan sebuah pertanyaan pula, "Baylor udah masuk?" Saking gengsinya, Kirana memalingkan wajah ketika ucapannya selesai.
"Belum, sore ini tadinya kalau enggak hujan kita mau cari," balas Jefri.
Kirana menunggu mereka peka kalau dirinya pengen ikut, tetapi hampir satu menit mereka hanya diam-diaman saja dan saling tatap. Lantas Kirana membalikkan badan sebelumnnya mengucapkan terima kasih.
Ya, rencananya sama. Tadinya kalau hujan tidak turun, Kirana ingin mencari lelaki itu. Bermodalkan sepengetahuannya tentang tempat-tempat yang sering Baylor kunjungi, mulai dari warpat, Danau Cincin, kedai bubur, dan rumah sakit. Luar daripada itu, Kirana tak tahu lagi.
Sayang, semesta sedang tak berpihak padanya.
Beberapa anak yang duduk di samping Kirana, satu per satu melenggang pergi. Begitu di depan gerbang sekolah, seseorang di balik jas hujan di atas motor atau seseorang di balik jendela mobil, melambaikan tangan. Sementara dirinya, diperlakukan seperti itu oleh abang angkot.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga cepat pulang. Semakin lama, hujan semakin deras. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti.
Benar apa katanya, abang angkot melambaikan tangan. Kirana berlari kecil menyeberangi jalan, buru-buru masuk. Dipanjangkannya hoodie berwarna peach sampai tak sedikit pun tangannya tampak.
Angkot yang Kirana tumpangi hanya berisi tiga orang dengan dirinya, itu artinya meski hujan, si sopir akan tetap mengetem.
Mobil melaju dengan kecepatan di bawah rata-rata, membelah jalanan kota yang basah dan licin. Bahkan, mulai tampak genangan-genangan kecil di atasnya.
Kirana membuang wajah keluar, posisi duduknya yang berada di dekat pintu masuk membuat wajahnya kecipratan air. Namun, sebatas geser pun Kirana malas.
Tidak berjalan lama, angkot terhenti mendadak. Nyaris saja Kirana terjungkal jika tangannya tak berpegangan erat pada kursi yang diduduki.
"Yang bener dong bang bawa mobilnya!" bentak salah satu penumpang.
"Maaf, Bu. Ini kayaknya pecah ban, deh." Si sopir turun dengan membanting pintu keras-keras. Baju yang berwarna biru muda tersebut basah terkena air yang turun dari langit begitu tubuhnya membungkuk untuk memastikan dugaannya benar.
Kirana tidak mengumpat, justru merasa kasihan.
"Ah iya, bener. Pada dioper aja, ya!" Seruan itu membuat Kirana mendengus sebal. Kalau dioper bayarnya akan dobel tidak sih? Belum pernah merasakannya sebelumnya.
Tangan gadis itu terulur untuk menyerahkan selembar uang, yang ditolak oleh si sopir. "Bayarnya di sana atuh, Neng!"
Kirana mangut-mangut, lalu mengikuti dua ibu-ibu yang sudah lebih dulu turun. Mereka bertiga menunggu angkot lain lewat di pimggir jalan sambil hujan-hujanan. Karena tidak ada yang membawa payung.
Wajah Kirana berseri begitu melihat angkot satu jurusan menampakkan eksistensinya di ujung jalan. "Naik yang ini yuk, Bu!" ajak gadis itu sembari melambaikan tangan tinggi-tinggi di atas kepala.
Angkot pun berhenti di hadapan mereka. Kirana membiarkan ibu-ibu ini masuk, baru ketika bagiannya, Kirana mematung. Satu pijakan kakinya sudah berada di sana, sebelahnya lagi meenunggu giliran.
Akan tetapi tak kunjung, bibir mungilnya berujar pelan, "Baylor?"
Ya, pemilik tubuh berbalut seragam biru yang seluruh kancingnya terbuka itu adalah Baylor. Lelaki itu jelas terkejut, tetapi cepat-cepat menetralkan mimik wajahnya dengan berseru, "Cepet naik!"
Kirana mengangguk polos.
Mereka duduk berhadap-hadapan. Baylor di kursi kecil yang menghadap ke belakang, sedangkan Kirana di dekat pintu sebelah kiri. Selama beberapa menit memang tidak ada yang membuka suara, hanya gibahan mulut ibu-ibu di sekitar mereka yang masih membahas insiden pecah ban angkot sebelumnya.
Sampai akhinya, tangan Kirana terulur untuk menyibakkan kening Baylor yang tertutup poni berantakkan. Terdapat plester kecil yang dekil. "Berantem?"
Baylor mengangguk malas. Ia menurunkan tangan Kirana dari keningnya dengan satu gerakkan.
"Sama siapa, Bay? Di mana-mana kamu punya musuh ya, heran." Kirana tertawa kecil, leluconnya tak masuk akal. Belum lagi, gadis itu tidak sadar saat menyebut Baylor dengan kata ganti kamu. Hei, sadarlah wahai mantan!
"Gak usah ketawa, ini berantemnya sama pintu angkot tahu enggak?" balas lelaki itu sambil mendongak dan menunjuk musuh-nya kemarin.
"Kejedot?" Kali ini tawa Kirana benar-benar pecah tidak bisa ditahan lagi, bahkan gadis itu sampai memukul-mukul tungkai atasnya sendiri.
Baylor tersenyum tipis, sudah lama ia tidak melihat Kirana tertawa seperti itu. Rasanya menyenangkan.
Setelah tawa Kirana mereda, Baylor melempar tatapan serius. "Gue minta jangan kasih tahu siapa-siapa," ujar Baylor benada mengancam.
Kirana mengernyit, "Jangan kasih tahu kalau kejedot angkot?"
Pertanyaan itu bukan dibuat-buat, Baylor tahu. Kirana memang polos.
"Bukan." Ia mengembuskan napas pelan. "Jangan kasih tahu keberadaan gue sama siapa pun, gak boleh ada yang tahu lagi selain lo!" Baylor menunjuk Kirana, ia agak emosi dengan hal ini.
Mengapa alur ceritanta jadi begini? Baylor pikir, ia akan kembali ketika sukses membawa banyak uang dari pekerjaannya. Nyatanya, baru tiga hari, Kirana sudah dapat menemukannya.
Kirana menggeleng.
"Kenapa geleng? Lo gak bisa nurutin apa kata-kata gue?"
Kirana mengangguk.
Kemudian, mengangkat wajahnya. Menatap Baylor lekat-lekat, terlihat jelas di manik mata lelaki itu kalau si empunya sedang tidak baik-baik saja.
"Enggak bisa begini, Bay."
"Lo enggak mampu dan enggak akan pernah bisa nyelesain masalahnya."
"Tanpa bantuan orang lain."
Setiap jeda per kalimatnya yang bernada sungguh-sungguh, Kirana memperdalam tatapannya. Untuk pertama kali, Kirana menang telak.
Gadis itu merekahkan senyum, lalu melontarkan kalimat terakhirnya, "Bang, Kiri!" Sembari mengetuk-ngetuk langit-langit angkot.
Setelah Kirana turun, Baylor termenung. Apa benar, ia butuh bantuan orang lain agar masalahnya selesai? Jika bagian daripada jalan keluar, makan ia akan lakukan.
Ya, semoga saja begitu.
🌠Bersambung
Masih ada yang baca enggak sih?❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Baylor [Completed]
Подростковая литератураBEST RANK : #3 literasiindonesia 21 Juni 2020 #1 literasiindonesia 6 Juli 2020 Baylor itu enggak bakal main-main kalau ada orang yang berani ngusik kehidupannya. Dia itu sosok yang susah ditebak, bahkan dirinya sendiri juga masih bingung. Sama bing...