Beep beep
Krist : Selamat siang, saya Krist Perawat mewakili dari Klub Jurnalistik. Sebelumnya saya ingin....
"Idih, formal banget sih?" Protesku pada diri sendiri kemudian menghapus lagi kalimat yang sudah disusun sedemikan rupa.
Tapi jangan sampai ketauan aja sih.
Kalimat Marcel terus terngiang di kepalaku. Sudah dua jam aku duduk di depan layar laptop demi merangkai kalimat yang setidaknya cocok. Tidak begitu formal, namun tetap sopan. Tapi tentu Singto juga tidak boleh tahu soal rencana penulisan ini.
Ya sudah lah, lebih baik dicoba dari pada tidak sama sekali.
Krist : Halo, ini Kak Singto ya?
Tanpa sadar, aku sudah merasakan senyum terukir di wajahku. Rasanya seperti baru pertama kali mengirim pesan ke pada seseorang yang kau suka. Detak jantungku ikut berpacu cepat. Berekspektasi kalau Singto akan segera membalasnya.
Ah, tidak-tidak! Bersikap profesional lah, Krist.
"Ayo makan!" Ujar L, kakak perempuanku, yang muncul tiba-tiba dari balik pintu. "Eh, kenapa pipinya merah gitu?"
Seketika aku menutup laptop lalu menggeleng cepat.
"Ohh.." L mengangguk seakan dia sudah paham segalanya.
Suasana makan malam pun sunyi senyap seperti biasanya. Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Ibu dan L sibuk larut ke dalam isi pikiran masing-masing. Tapi aku mengerti, memang ada banyak hal yang harus mereka pikirkan. Justru membuatku merasa tak enak karena belum bisa membantu banyak.
"Ibu!" L membuka pembicaraan. "Krist udah punya pacar tau."
Aku langsung tersedak mendengar ucapannya.
"Liat deh." Lanjut L. "Dari tadi senyam-senyum gak jelas."
Ibu hanya tersenyum sambil melihat ke arahku, "Lain kali ajak dia makan malam. Siapa tahu dia bisa jadi istri yang cocok buat kamu."
Mataku terbelalak, "Enggak bu. Itu bukan perempuan kok."
"Jadi dia laki-laki?! Krist, jadi kamu—" Ibu makin heran.
"BUKAN, BUKAN!" Aku semakin panik. "Itu sumber untuk penulisan berita aku, bu. Krist kagum aja sama dia."
"Memangnya siapa?"
"Ah, ibu sama L mungkin gak kenal." Balasku sambil tertawa kecil.
Ibu mengangguk, "Kalau begitu kamu makan yang banyak! Ibu tahu rasanya kejar-kejaran sama narasumber, pasti capek."
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan ibu. Tentu saja dia paham. Sudah bertahun-tahun ibu terjun ke dunia jurnalistik. Sejak kecil aku sudah melihatnya bekerja begitu keras. Hujan badai pun sepertinya tak segan ia hadapi.
Meski dihantui berbagai resiko, ibu tetap begitu mencintai pekerjaannya. Bahkan ia sudah mendidikku dan L untuk mandiri. Seakan kami harus siap jika suatu saat aku harus kehilangannya.
Tentu banyak pro-kontra mengenai pekerjaannya. Mengingat tak ada lagi yang bisa mengurusku dan L jika ibu tidak ada. Tapi ibu selalu bilang menjadi jurnalis itu seperti panggilan hati. Dan aku yang sedari dulu melihat punggung ibuku sudah merasakan 'panggilan' itu sejak umurku sepuluh tahun.
Meski belum tentu aku bisa sekuat dirinya.
***
"Belum dibalas juga?" Bisik Marcel.
Aku menggeleng. Kami kembali mengadakan rapat dadakan. Namun karena Earn protes tidak mau waktu istirahatnya dipotong, alhasil kita melakukannya di kantin. Tentu dari jauh kita lebih terlihat seperti klub gosip. Salahkan Marcel yang mengharuskan kita untuk bisik-bisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanficSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...