Bagian 1 : Jodoh?

9 3 3
                                    

Sekitar dua puluh empat tahun silam. Ibu bilang, melahirkanku adalah perjuangan keras. Aku paham sekali. Sebab saat ini diatas sebuah ranjang, aku akan melahirkan seorang anak perempuan.

"Tahan, ya, bu..." kata seorang perawat sambil memakai sarung tangan.

"Tarik nafas. Jangan diangkat. Relax." Katanya lagi sembari merogoh area kewanitaan. Mengecek seberapa jauh perjalanan kontraksi yang telah kulalui.

Aku menggigit bibir bagian bawah. Ku tahan napas dalam-dalam. Sakit.

"Nah, sudah buka delapan, ya... sebentar lagi." Perawat itu tersenyum dan berlalu meninggalkanku.

"Makan dulu kurmanya," Mas Afnan menyuapiku. Aku bersyukur dikaruniai suami yang begitu menyayangiku.

Aku mengangguk. Kuterima suapan kurma itu lalu mengunyah pelan. Tenagaku tak sersisa banyak. Sebentar kemudian sakit kontraksi mendera dengan hebat.

Mas Afnan menggenggam tanganku erat. Sesekali mengusap pinggangku.

"Perbanyak do'a dan dzikir ya, sayang. In syaa Allah lekas dikabulkan dan sakitnya berkurang," kata Mas Afnan lagi sembari mengecup keningku.

Aku mengangguk kecil.

"Ibu sudah dikabari, mas?"

"Sudah... sebentar lagi mungkin beliau sampai."

Pikiranku menerawang jauh. Ingat nenek pernah bilang, dulu ketika aku lahir ayah orang yang pertama kali menangis. Ayah adalah pria tangguh yang luar biasa. Ayah adalah orang yang tegas tapi juga memiliki hati yang lembut.

Melahirkanku, ibu mengeluarkan banyak darah. Untungnya, tidak sampai pendarahan.

"Mas," kupandangi wajah suamiku.

"Kalau ada apa-apa dengan adek, tolong jaga anak kita, ya..."

"Hus. Gak boleh ngomong sembarangan, dek. Ingat, sebentar lagi putri kita lahir. Pikirkan yang baik-baik." Mas Afnan menatapku serius.

Aku hanya balas menatapnya.

Hari ini Mas Afnan tidak mengajar. Melihat kondisiku semalam, akhirnya Mas Afnan mengambil cuti seminggu. Baru tadi pagi kami berangkat ke Rumah Sakit terdekat dari rumah. Rumah Sakit Ibunda, namanya. Begitu diperiksa, alhamdulillah memang sudah saatnya. Bukan lagi kontraksi palsu seperti beberapa hari terakhir.

"Apa gak bagusnya langsung ke rumah sakit, toh, nak, kalau mau melahirkan? Biar kalau ada apa-apa bisa langsung ditangani dokter." Begitu kata ayah beberapa hari yang lalu.

"Iya, yah. Saya sudah bilang begitu. Tapi Dek Wardah menolak." Mas Afnan menimpali.

"Loh kenapa, sayang? Apa gak ada uang?" Ibu mendekat, mengelus kepalaku.

"Ada, bu. Tapi kan setelah melahirkan mesti banyak pengeluaran. Wardah takut kalau nanti kurang." Jelasku.

"Gak perlu khawatir, dek. In syaa Allah ada rizkinya. Nanti mas usahakan."

"Kalaupun nanti kurang, kan masih ada ibu dan ayah, nak. In syaa Allah kami bisa bantu." Ibu dan ayah tersenyum.

"Yasmin bagaimana? Nanti uang kuliahnya kurang..." aku sungguh khawatir. Mengingat ibu dan ayah yang sudah terbilang tua, meski belum sepuh. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang sesekali menjahit pakaian kalau ada orderan. Ibu tidak benar-benar menekuni bidang itu. Kata ayah sejak awal menikah, ayah sudah melarang ibu bekerja. Pendidikan ibu terbilang tinggi bergelar Sarjana Ekonomi. Tapi ayah ingin ibu fokus mengurus, merawat dan mendidik kami -anak-anaknya- dengan benar dan penuh kasih sayang.

Sedangkan ayah, beliau seorang editor yang sebentar lagi pensiun. Ya, meski kami memiliki beberapa lahan yang dititipkan pada petani yang masih merangkap tetangga. Tetap aku tak ingin merepotkan orangtuaku lebih jauh.

Berikan Aku "Ibrahim"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang