8 - Emosi

21 3 0
                                    

***

Buliran air jernih bergemerincik jatuh pada ujung-ujung genteng. Berbarengan pada pipi dari pemilik atap rumah yang tengah diguyur hujan. Hatinya dipenuhi rasa kalut bersama genangan-genangan keruh di jalanan. Menyimpan duka mendalam bagi jiwa yang hancur dibayangi ketakutan.

Raganya ingin berhambur keluar lalu memeluk makam ibunda tersayang. Fotonya terdekap hangat di badan. Banjir bersama tangisan kerinduan.

Ibu,
Kalau saja semesta mengerti apa yang kugenggam saat ini
Mungkinkah aku cukup hidup sendiri

Aku ingin berhenti
Namun aku bukanlah seorang pecundang
Maka aku tetap berdiri
Karena belum cukup semesta memberlakukan hukum alamnya

Saat mata tertutup
Bahkan saat terbuka
Hatiku mungkin telah gelap
Kalap


Tok-tok-tok!

"NAK, BUKA PINTUNYA?!"

Jessica terbangun dari bayangannya dan menghapus air matanya kasar. Ia mengenali suara itu. Kakinya terburu-buru melangkah menuju pintu utama.

"Papa!" Jessica berhambur memeluk papanya yang nampak berdiri di depan pintu, dengan koper di sampingnya. Namun tidak dibalas peluk oleh papanya.

"Papa makasih udah pulang," ucapnya sambil melepas pelukan.

"Papa gak lama di sini." Papanya masuk sambil menarik kopernya.

"Berapa lama pah?" tanya Jessica sumringah.

"Cuma lima hari."

"Kenapa?"

Mereka berdua berjalan menuju kamar Jessica yang tidak jauh dari kamar milik papa dan mendiang ibu tirinya.

"Ngapain foto ibu kamu ada di atas kasur?!" ucap papanya setengah membentak.

"Aku cuma kangen keluarga," jawabnya lesu. "Aku capek loh pah hidup sendirian tanpa siapapun. Tanpa keluarga yang--" Ia menarik nafasnya. "Yang masih hidup."

"Kalau gitu kamu nikah aja, mumpung ada papa di sini?"

"Aku gak ngerti ya sama pola pikir papah!"

"Siapa yang suruh kamu buat ngertiin pola pikir papah?"

"Kamu siapa sih? Kamu bukan lagi papa aku sebelum ibu kandungku meninggal," lirih Jessica.

"Lagian kamu! Papah masih capek, kamu udah nyerocos ngomongin keluarga!" ucapnya kasar. "Kamu harus sadar untuk gak berharap soal keluarga. Kita ini hancur! Keluarga kita hancur!"

"SIAPA YANG BUAT KELUARGA INI HANCUR? PAPAH!"

PLAK.

Pipi tirusnya memerah sebelah. Jessica segera memeluk foto ibunya di kasur.

"Mamaaa!!! Jessica pengen nyusul mamaa!" teriaknya di tengah kewalahan papanya.

Matanya membulat sempurna, telinganya mendengar teriakan. Seseorang berlari menuju sumber suara. Ia mendapati Jessica dengan lelaki berperawakan tinggi besar di kamar itu.

"Siapa lo?!" tanya Fisya lalu segera memeluk Jessica.

"Om?" ucap Fisya. "Kamu gak pantes jadi seorang ayah!"

Pria itu mendelik kesal. Ia keluar menuju kamar peristirahatannya.

"Jes kenapa? Jes, maafin Fisya."

ABSTRAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang