"Hanum, setelah tante pikir-pikir kita tidak perlu melakukan induksi. Tapi tante harus mengatakan bahwa impian kamu untuk melahirkan normal terpaksa ditunda." Hanum yang masih setia dengan rasa sakitnya mencoba mendengarkan penjelasan Tika dengan seksama.
"Maafkan tante, Hanum. Tapi langkah sesar adalah cara paling tepat tepat untuk keadaan seperti ini."
"Tante tidak mau membahayakan bayi kamu jika dipaksa lahir normal. Apalagi usianya belum genap sembilan bulan dan ketubannya sudah pecah duluan." Hanum menghela napas pelan, lalu mengangguk pasrah pada akhirnya.
"Lakukan yang terbaik, Tan. Hanum mau anak ini tetap selamat." Ucapnya diiringi tetesan air mata.
Tatapan Tika beralih pada Bagas yang masih setia berdiri di samping Hanum. Pun dengan tangannya yang rela dicengkeram kuat oleh mantan istrinya itu.
Awalnya Tika ingin memaksa Bagas agar segera keluar ruangan. Tapi melihat kehadirannya justru menenangkan kondisi psikis Hanum, akhirnya Tika memilih diam.
"Siapkan diri kamu, operasinya akan segera kita mulai." Hanum mengangguk lemah.
"Tante sudah menghubungi Harviz jika kamu masuk rumah sakit, tapi dia harus pulang malam karena ada ujian dadakan di kampusnya."
"Nggak pa-pa tan, tapi tolong jangan kabari Papa. Dia sedang perjalanan ke Solo untuk datang ke acara pernikahan anak temannya. Hanum nggak mau papa khawatir," Tika mengangguk.
"Kapan papa kamu pulang?"
"Mungkin besok sore sampai rumah, papa mengambil penerbangan siang dari sana."
"Ya sudah, Tante keluar dulu. Nanti tante ke sini lagi." Pamit Tika sembari melirik Bagas.
"Pak Bagas pulang saja, terima kasih sudah menemani saya." Bagas hanya diam mendengar ucapan Hanum saat Tika sudah keluar.
"Saya aman kok di sini, ada tante Tika dan perawat yang jagain saya. Nanti Harviz juga segera datang." Lanjut Hanum lagi.
"Anak kamu kira-kira laki-laki atau perempuan?" Alih-alih mengindahkan perintah Hanum agar pulang, Bagas justru menarik kursi di samping ranjang dan duduk di sana. Tangannya masih setia menggenggam jemari Hanum seperti tidak ada niat untuk melepaskan.
Hanum tahu permintaannya tidak akan dituruti, seraya menghela napas susah payah dia menjawab pertanyaan bosnya yang sekaligus mantan suaminya itu.
"Dari hasil USG kemarin laki-laki."
"Mau dikasih nama siapa?" Hanum mengernyit.
"Saya bahkan belum kepikiran cari nama untuk dia, yang penting anak ini lahir dulu dengan selamat dan sehat. Setelah itu baru saya pikirkan."
"Nanti saya bantu carikan nama." Hanum tertegun, sejak ciuman tanpa sadar beberapa jam yang lalu, ini adalah percakapan paling panjang diantara keduanya. Meski Bagas sudah kembali berbicara dengan sikap formal seperti bos dan karyawan.
"Tidak perlu repot-repot, pak. Nanti bisa saya diskusikan dengan papa dan Harviz." Jelas Hanum pelan.
"Papanya?" Hanum terdiam telak, tidak lama kemudian dia hanya menampilkan senyum.
"Papanya sampai saat ini belum tahu kalau anak ini ada."
"Kamu tidak kasih tahu?" Tanya Bagas lagi.
"Saya tidak punya kontak lagi dengan ayahnya. Semua nomor saya diblokir begitupun dengan akses media sosial." Menahan kepedihan mendalam saat Hanum menjelaskan perihal mantan suami keduanya.
"Kamu sudah beli perlengkapan bayi belum?" Bagas seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
"Sudah ada, kemarin dikasih tante Tika. Harusnya perlengkapan bayi itu milik anak ketiga beliau, tapi sebelum dipakai, anaknya sudah lebih dulu dipanggil Tuhan." Bagas terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Karma [Terbit]
ChickLitTERSEDIA DALAM VERSI PDF Definisi terbaik dari istilah 'Jodoh' itu apa? Jika menikah = Bertemu jodoh, Seharusnya aku tidak menjadi janda dua kali! Aku tahu, Baik buruknya perbuatan manusia akan selalu menemukan balasan. Tapi mengapa balasan yang ak...