Hampir pukul dua belas malam, Pak Kiai Ma'sum masih duduk di bangku kayu, ditemani pena dan kertas berlatar temaram sinar lampu yang tak menyorot tajam. Ia terus mengalunkan pena ke dalam secarik kertas. Sesekali tangan keriputnya meraih cangkir teh menyesap isinya perlahan.
Selang beberapa menit, Pak Kiai tertidur. Matanya terpejam masih bersandar di atas bangku. Gurat wajahnya terlihat seolah sedang memikirkan sesuatu dalam tidur.
*Suasana masjid Ar-Rayan sangat sepi, jam besar di dinding menunjukkan pukul 01:45. Tidak ada orang di dalam selain Wira yang duduk bersila di atas sajadah memegang tasbih, berdzikir dengan khidmat sambil memejamkan mata.
Pak Kiai yang hendak melaksanakan sholat malam di masjid berdiri sejenak di balik pintu, memperhatikan Wira sambil tersenyum. Kemudian berjalan pelan-pelan menghampiri Wira yang masih hanyut dalam dzikir. Tak bermaksud mengganggu, Kiai Ma'sum hanya duduk di sebelah Wira. Namun, beberapa detik kemudian mata Wira tiba-tiba terbuka, jemarinya yang sedari tadi sibuk menggulirkan butiran-butiran tasbih kini berhenti, menyadari ada seseorang yang datang menghampiri.
"Abah!" Menoleh ke arah Kiai Ma'sum, meraih tangan beliau kemudian menciumnya tanda hormat.
"Sudah lama Le?" Sambil menepuk-nepuk punggung Wira.
Wira menelik jam besar di dinding, "lumayan, Bah!"
"Pemuda-pemuda yang sangat bergantung pada Gustinya, dia pasti adalah pemuda yang sangat kuat, tidak mudah menyerah, dan selalu teguh dengan pendirian-pendiriannya. Hari-harinya pasti selalu bahagia karena mereka yakin bahwa Gusti Allah selalu memberikan yang terbaik. Bukan begitu, Le?"
Wira mengangguk.
"Ketika kita mengisi hati kita dengan dzikir dalam keadaan apapun, saat itu pulalah kita memiliki ketenangan hati. Karena Gusti Allah bersabda ingatlah Aku, maka Aku akan mengingatmu."
Wira mengangguk lagi, menelik jam dinding berkali-kali kemudian berganti melihat ke arah pintu masjid. Raut wajahnya berubah sedikit merasa cemas.
"Kenapa Le?"
"Ndak Bah. Santri-santri belum pada masuk masjid buat sholat."
Kiai Ma'sum melihat jam dinding kemudian tersenyum lebar, "baru juga jam dua Le. Kalau ada yang mau diceritakan sama Abah, ceritakan saja, sebelum masjid ramai." Tutur Kiai Ma'sum seolah mengerti apa yang Wira inginkan.
"Abah, sudah saatnya Wira menikah."
Baru keluar satu kalimat dari mulut Wira, Kiai Ma'sum langsung tertawa sampai terbatuk sesekali.
"Lho Bah, kok malah diketawain to?"
Masih dengan tertawa kecil Kiai Ma'sum berucap, "ini, ini yang Abah tunggu-tunggu bertahun-tahun lamanya."
"Berlebihan itu Bah kalau bertahun-tahun."
"Sebentar, sebentar. Hal apa ini yang membuat kamu akhirnya menyampaikan ini ke Abah?"
"Akhir-akhir ini, ada perempuan yang bisa dibilang sedikit agresif begitu Bah, mendekati Wira."
"Siapa iku Le?"
"Karyawan Mas Rayhan, namanya Salma."
"Kamu suka sama dia?"
Wira tersenyum, "Duh Bah, justru risih lho Bah."
"Terus?"
"Hmm, maka dari itu Wira ingin menikah. Untuk menjaga diri Bah, agar ndak ada perempuan ngejar-ngejar Wira. Takutnya jadi fitnah begitu."
Kiai Ma'sum mengangguk-anggukan kepala. "Karena alasan itu aja?"
"Ndak Bah. Itu alasan yang zohir aja Bah. Kalau alasan sebenernya ya karena Wira sudah ingin membangun kehidupan rumah tangga, melaksanakan sunnah baginda rosul, menyempurnakan separuh agama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
Fiksi Umum"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"