Tentang Meminta Maaf

63 6 6
                                    

***


Aku melihatmu di stasiun ini sejak tiga puluh menit yang lalu. Kau sedang duduk di kursi tunggu, sendirian. Tidak terlihat barang bawaan yang rempong di sampingmu. Aku tahu, Kau memang tipe orang yang suka kesederhanaan. Pandanganmu lurus ke depan. Sesekali, Kau melirik jam digital yang terpampang di atas pintu masuk ruangan itu. Ingin aku menyapamu, sekedar menanyakan ada perlu apa kau pulang disaat seperti sekarang ini. Ah, tapi tidak bisa. Aku tidak punya nyali untuk melakukan hal-hal seperti itu. Jadi, yang bisa kulakukan hanyalah mengamatimu dari kejauhan. Pura-pura tidak mengenalmu dan bersikap acuh padamu. Hanya itu yang bisa kulakukan sambil menunggu kereta datang. Aku sempat berharap, semoga kita akan berada di gerbong yang sama. Memang, kita akan menuju kota yang sama.

Beberapa saat lamanya pandanganku kehilangan sosokmu. Entah, Kau pergi kemana. Padahal kereta kita akan datang sekitar lima menit lagi.

Ternyata kereta kita delay karena ada perbaikan rel yang rusak, entah di lajur mana. Hampir satu jam lamanya. Perusahaan kereta api itu menyampaikan permohonan maafnya melalui layar-layar di setiap sudut ruangan. Orang-orang yang sejak tadi menunggu merasa kesal. Aku mendengar keluhan-keluhan mereka karena lelah menunggu dan ada kepentingan yang harus mereka selesaikan.

Berbeda denganku yang sama sekali tidak ada urgenitas untuk naik kereta ini menuju kampung halaman. Bagaimana denganmu? Apa ada urusan serius, yang menyebabkan dirimu harus pulang sekarang?

Karena bosan, aku ingin berjalan-jalan. Ke toilet atau ke musholla stasiun ini. Aku ingat, sebelum berangkat ke stasiun tadi aku belum sempat salat dhuha. Sekarang matahari belum terlalu tinggi, masih ada waktu untuk menunaikan amalan sunnah yang paling aku suka.

Aku mendapati sepatumu ada di depan pintu musholla. Terlihat jelas dari balik kaca, tanganmu memegang mushaf saku. Bagiku, Kau terlihat sangat keren saat membaca kalamNya. Aku terkesima sekian detik lamanya.

Astaghfirullah..

Segera kutundukkan pandanganku darimu. Sayang sekali, musholla di sini sangat sempit. Aku tidak bisa tidak melihatmu kalau hendak melaksanakan salat dhuha. Di ruangan kecil itu hanya ada kau dan dua orang wanita yang sedang duduk memainkan ponselnya.

Baiklah. Aku tidak akan mengurungkan niatku untuk menunaikan ibadah ini.

Sekarang aku sudah melewatimu. Kau tetap membaca ayat-ayatnya dengan suaramu yang pelan. Hampir tidak terdengar sama sekali.

-----------------------

Kereta sudah datang. Penumpang terlihat berjejer mengular ingin masuk ke gerbong masing-masing. Aku tidak tahu kau di mana. Segera kulangkahkan kakiku ke gerbong 3A dan kucari tempat dudukku.

Kursi nomor 33 beruntungnya ada di dekat jendela. Aku sangat senang dengan tempat duduk di dekat jendela. Pandanganku sempat gagal fokus saat melihat ke jendela. Ada pantulan dirimu di sana, sedang melihat ke arahku. Ingin aku membalikkan kepala dan melihat ke arahmu, tapi..Aku tidak mau.

Mungkin kau sudah melupakan kejadian tiga bulan yang lalu. Saat secara tidak sengaja kau menumpahkan minumanmu ke kertas A3, yang sebentar lagi akan kuserahkan pada asdosku. Aku tidak bisa lupa bagaimana marahnya diriku padamu saat itu. Sebab, tersisa satu jam saja waktu pengumpulan tugas besar itu.

Meskipun pada akhirnya kau membantuku menggambar ulang pekerjaanku, tapi tetap saja. Aku kesal padamu. Kau tidak meminta maaf padaku, tidak pernah sama sekali. Seandainya kau tahu, sebenarnya aku malu padamu. Aku mengerjakan tugas itu satu bulan lamanya, sedangkan kau membantuku mengerjakan ulang hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Ah, semester awal memang masa-masa payah. Menggambar bangunan sederhana saja bisa menguras hati dan pikiran. Juga air mata. Ya. Masa adaptasi.

Setulus Cinta, Seikhlas Rasa [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang