@qoldenqueen1
Udara pagi pada pukul enam kala itu nampaknya cukup untuk membuat Yunseong mau tak mau membuka matanya ditengah kantuk yang mendera. Bukan perihal panas sinar mentari yang menerpa wajahnya, namun bau tanah basah serta riak air -yang sepertinya mulai membuat bendungan kecil di halaman rumahnya yang hijau- lah yang cukup mengganggu gendang telinganya.
Gelap. Sepertinya semesta tengah dirundung pilu sebab dari suara guntur serta rintik air seolah berlomba untuk menghantam bumi dengan frekuensi konstan itu kian mengetuk indra pendengarnya.
Merenggangkan badan yang terasa kaku terutama dibagian lengan kanannya, membuat Yunseong kontan melirik pelaku yang membuat lengannya teramat pegal, masih terlelap cantik dan tak pernah kusut. Dengan perlahan ia meloloskan lengannya dan membiarkan si manis melanjutkan istirahatnya dalam balutan selimut tebal yang membungkus tubuh rampingnya.
Yunseong agaknya cukup tersentak ketika kakinya menginjak dinginnya permukaan lantai lantaran cuaca yang tengah hujan serta penghangat ruangan yang tak dihidupkan. Masih dengan wajah yang tak luput dari rasa kantuk, pemuda berwajah androgini itu memilih untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu. Kemudian kembali mengenakan fabrik satin yang setelahnya dilapisi cargidan yang cukup untuk menghalau dinginnya udara. Dengan langkah gontai, ia membawa tungkainya melangkah menyusuri undakan tangga hingga berakhir di konter dapur. Membuka lemari persediaan makanan mereka selama sebulan kedepan, kemudian memeriksa apa yang dapat dirinya konsumsi di tengah hawa dingin yang cukup untuk membuat punggungnya tegap meremang. Memilih teh sebagai teman paginya, Yunseong kembali memasuki kamar dengan dua cangkir teh hangat yang masih mengepul dikedua tangannya. Sedikit terkejut ketika menyadari bahwa si manis sudah bangun dan kini tengah merawat paras cantiknya di depan meja rias di ujung ruangan. Seraya mendekat, ia mengulas senyum tipis yang ternyata dibalas oleh si manis lewat refleksi sempurna di hadapannya.
“Sudah bangun?”. Tanya Yunseong sembari meletakkan secangkir teh hangat di hadapan Minhee.
“Dalam tiga tahun Yunseong, baru pertama kali aku dengar pertanyaan bodoh dari mulut cerdasmu”. Timpal Minhee sambil terkekeh.
“Aku tersanjung dengan keduanya, Minhee”. Yunseong memilih untuk melangkah menuju jendela besar di sebelah kanan kamar milik keduanya. Menumpukan siku pada bingkainya yang kokoh sambil menatap kaca yang berembun dengan pandangannya yang syahdu.
“Sedang ada masalah?”. Si manis mengekorinya dan memilih melingkarkan kedua lengan putihnya pada pinggang sang kekasih sambil mengistirahatkan kepalanya di pundak tegap Yunseong.
“Nope, aku rasa kamu pun tahu Minhee, masalahku hanya nggak tahu cara untuk berhenti memujamu”.
Minhee terkekeh di balik pundaknya.
“Kamu mempermasalahkan itu? Artinya kamu berniat mencari solusi untuk berhenti memujaku, begitu?”. Pemuda Hwang tak langsung menjawab, memilih kembali menyesap teh yang telah hilang uapnya itu, kemudian menggeleng tanpa melirik netra cantik berhias bintang milik sang kekasih. “Retorik Minhee, jelas-jelas kamu tahu aku nggak mungkin sanggup”. “Jangan terlalu lama memelukku. Kemari, aku perlu melihat seberapa serius Tuhan menciptakan makhluk cantiknya”.
Lagi-lagi Minhee hanya dapat terkekeh mendengar ucapan halus sang kekasih. Sebut Yunseong gila karena cintanya yang terlampau dan tak terbendung pada pemuda cantik dihadapnya yang kian meletup letup. Tak pernah sedetikpun Yunseong berhenti memuja betapa cantiknya wajah pucat dengan konstelasi bintang yang nampak apik dipipi meronanya. Tak lupa pula sepasang netra sebening kristal dengan binar yang selalu memancarkan sinar hangatnya.
Meletakkan kedua cangkir diatas nakas, tangan besarnya kembali menarik Minhee dibawah kuasanya, merengkuh tubuh ramping sang kekasih dalam kukungan lengannya.
“Dingin ya?”. Si cantik hanya menjawabnya dengan dehaman singkat kemudian kembali mengistirahatkan diri dalam dekapan hangat sang kekasih, sambil sesekali menghirup wangi tubuh Yunseong yang menguar, dan dengan kurang ajarnya membuat kedua pipi tirusnya kembali bersemu. Tak ingin buat kesayangannya lelah, Yunseong kemudian membawa Minhee duduk di sofa yang terletak tepat di samping keduanya. Mendudukan si manis di pangkuannya, setelahnya mencoba membuat Minhee melepas rangkulannya, Yunseong beralih merapikan surai jelaga yang terkasih, menyisirnya dengan sayang sembari menyelamkan kedua obsidiannya pada netra bening sang kekasih. Lagi, Minhee mengulas senyum cantik kala mendapati Yunseong menatapnya penuh puja.
“Kenapa?”. Katanya malu-malu. “Nggak, hanya cantik. Apa kamu nggak bosan cantik setiap hari?”. Yunseong menjawab seadanya.
“Mulut dan otak kamu memang kolaborasi yang cocok, Yunseong. Aku sampai bingung harus jawab apa setiap kali dengar ucapan halus kamu”.
Yunseong menggeleng, menurunkan tangannya kemudian menarik pinggang ramping Minhee untuk semakin dekat. Tak lupa, kedua netra kelamnya kian menghunus iris bening Minhee dengan tatap penuh puja. “Tau nggak? Betapa bersyukurnya aku ketika dipagi hari, kamu selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku terjaga." Menaruh tangan besarnya pada punggung sang kekasih, Yunseong mulai membelainya dengan konstan, membiarkan Minhee dimanjakan oleh sapuan ringan pada punggungnya, yang kontan menambah daftar alasan dibalik ulasan dibibir tipis si manis. “Halus lagi”. Minhee mencoba menutupi salah tingkahnya dengan mengejek.
“Nggak sayang, aku memang harus banyak berterimakasih karena Tuhan telah menitipkan malaikatnya yang berharga padaku.” “Kamu nggak pernah kusut dari awal mula kita berjumpa, dan alasan itu udah cukup untuk aku tahu diri dengan selalu berterimakasih”. Lanjutnya sungguh-sungguh. Keduanya kembali terperangkap dalam balutan suasana damai, entah siapa yang memulai, namun perlahan, sorot keduanya semakin meneduh, mencoba menyelami netra masing-masing. Membiarkan sejuknya udara pagi membasuh paras cantik Minhee dan menambah pemandangan sempurna bagi Yunseong yang kini kian terjerat dalam pesona sang kekasih.
Minhee kembali mengulas senyum hangatnya, menyusupkan jemari lentiknya di antara helai Yunseong. Membelai belakang kepala sang kekasih dengan sayang, seolah tak ingin kalah menunjukan betapa beruntungnya Minhee memiliki Yunseong dalam setiap hembus nafasnya.
“Aku selalu bersyukur jika menyadari bahwa ternyata kamu diciptakan hanya satu. Kalau ada dua, aku bingung harus gimana, karena nyawaku cuma satu”. Yunseong kembali bersuara tanpa menghentikan usapan tangannya pada punggung si manis. “Gimana?”. Yunseong memilih menggeleng, menarik punggung sang kekasih dalam dekapannya, membiarkan Minhee bersandar pada dada bidangnya, kemudian berbisik dengan lirih “Apa hari ini aku udah bilang kalau aku sayang kamu?”. Minhee tertawa ringan, menepuk bahu Yunseong main-main kemudian menaruh kedua lengannya melingkari leher yang lebih tua.
“Belum.”
“Mau dengar?”. Si manis mengangguk dalam dekapannya. Tersenyum singkat, Yunseong mendekatkan wajahnya pada telinga sang kekasih, menghela nafas tepat ditelinga Minhee sampai membuatnya sedikit terkikik geli, kemudian berkata lirih “Ich liebe dich, Minhee Kang”.
Minhee tersenyum mendengarnya, Membawa jemari lentiknya untuk menangkup rahang tegas Yunseong hingga kening keduanya saling bertemu, membuat yang lebih tua mau tak mau menatap kedua bala mata Minhee yang seteduh langit sore. “I love you too, Hwang”.
_
_____________
Nama : Adin
Username twitter : @qoldenqueen1
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTOLOGI ORION || HWANGMINI
Fanfictionᴅɪɴɢᴅᴇᴜʟꜰᴇꜱꜱ ꜱʜᴏʀᴛꜰɪᴄ ᴄʜᴀʟʟᴇɴɢᴇ #ꜱᴇᴀꜱᴏɴ01 Selamat Datang di book pertama project Hwangmini Shortfic Challenge. Terimakasih untuk yang sudah ikut berpartisipasi. Selamat membaca 🤗 Regards, Admins 🧡