Nana berjalan mendekatinya, kemudian berhenti tepat beberapa langkah di depannya.
"Udah? Gini aja ya?" Ucapnya sambil meringis.
Alvin terdiam dengan ekspresi datarnya. Wajahnya kaku. Ia menerawang jauh ke dalam mata Nana.
Alvin mendesahkan nafasnya dengan berat sambil memandang langit yang sangat cerah itu. "Langit aja nggak berpihak sama keadaan sekarang" batinnya.
Ia tersenyum dengan terpaksa, memandangi adik kecilnya itu dengan mata nanar.
"Iya, hati-hati. Jangan lupa minum air putih yang banyak, makan buah, jangan males mandi, terus jangan lup-"
Nana tertawa terbahak-bahak.
"Apaan sih? Kita kan juga masih bisa telfonan, chatting, video call. Udah, nggak usah alay deh ah" ucap Nana sambil tetap menyunggingkan senyumnya.
"Gue cuma ngingetin, deekk."
Alvin mendengus kesal. Rasa khawatirnya selalu saja ditertawakan.
"Ah udah lah, yang penting hati-hati, jangan aneh-aneh di sana. Nggak usah pacaran. Lo itu masih bocil, masih bayi." Ucap Alvin sambil mengacak-acak rambut Nana.
Nana mengerucutkan bibirnya sambil merapikan rambutnya yang telah ditatanya kurang lebih 1 jam itu.
"Terserah aku dong mau ngapain. Ya udah, aku pergi. Nggak usah kangen sama si imut Nana ini. Wleekk!!!"
Nana membenarkan posisi tasnya sekali lagi. Kemudian berbalik menuju mobilnya. Papanya mungkin akan marah-marah karena menunggunya begitu lama.
Ia terus berjalan lurus. Tak ada satupun keberanian untuk menoleh ke belakang. Ia takut, mungkin hatinya akan goyah.
Gadis 19 tahun itu memegang tali tas selempangnya dengan erat. Meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin.
"NANAAA!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyxfriend
Teen Fiction"Kayak batu. Nggak bisa dibilangin. Pemalas. Omongannya kasar. Gampang nangis. Suka ngambek." Alvin bisa menyebutkan 1001 keburukan dalam diri Nana. Tapi anehnya, ia tak bisa menyebutkan satu saja alasan ia harus membenci Nana.