chapter eighteen

51 6 0
                                    

Netra mereka bertumbuk dengan batin yang masih sama-sama mencerna skenario semesta. Dedaunan cemara menderai-derai di sekitar raga mereka berdua. Roti cokelat yang tersusun rapi di dalam kotak bekal Tinkerbell itu kehilangan penikmatnya. Mereka masih asik bergumul dengan isi pikiran masing-masing.

Hingga sampai pada suatu detik yang berjalan normal, Aksa berdehem. "Tinkerbell?"

Tangisnya pecah seperti hujaman hujan yang turun tanpa aba-aba. Deras. Bahunya berguncang menahan isak. Gadis itu masih menatap manik hazel yang menghipnotis dirinya sesaat. Tanpa berkata apa-apa setelah ia mengusap air matanya, Nadin beranjak dan pergi dari taman kota yang membongkar semua memorinya. Meninggalkan sebuah kotak bekal penuh kenangan yang teronggok mengenaskan di meja taman, juga seorang laki-laki yang ia harap akan selalu mengingatnya tapi nyatanya tidak.

Apa wajahnya banyak berubah? Setahu Nadin, tidak. Poni tipis itu tetap bertengger manis dan dipertahankan hingga saat ini. Bahkan sebuah bintik-bintik cokelat yang tersebar di penjuru hidungnya juga tidak menghilang.

Tapi, kenapa? Kenapa cowok itu lupa padahal Nadin masih jelas mengingatnya? Apa sebenarnya, ia tidak sebegitu berharga bagi kehidupan Aksa?

Nadin mendengus, sebuah kotak bekal memang tidak bisa mengukir arti apa-apa. Batinnya menggumam.

Ia memutuskan untuk pulang, menaiki bus kota yang secara kebetulan berhenti di depannya. Gadis itu hanya terkejut. Ia harap keterkejutannya akan memudar esok hari, dan ia akan bicara dengan Peterpan masa kecilnya.

.
.
.

Sepeninggal gadis itu, Aksa termenung sejenak. Membiarkan pudarnya senja menemani benaknya yang masih menerka-nerka garis takdir semesta. Netranya memandang langkah Nadin yang tidak berjejak namun meninggalkan seberkas rasa sakit pada basirahnya yang pasrah.

Berulang kali ia menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa tidak bisa mengingat gadis pemberi bekal yang semestinya harus ia ingat di setiap langkahnya? Aksa menarik napas dan mengembuskannya kasar, memaksanya berbaur ada udara yang mulai dingin tatkala sang raja siang mengakhiri pekerjaannya hari ini.

Batinnya meminta maaf pada Nadin meski gadis itu tidak dapat mendengarnya. Tidak apa. Masih ada hari lagi, ia harus bertemu perempuan dengan iris cerah itu.

.
.
.

Tapak kakinya baru menyentuh beberapa anak tangga sebelum seseorang yang menjulang itu menghalangi jalannya. Netra Nadin dan milik cowok itu saling menabrak. Hening meliputi keduanya, sampai akhirnya sang lelaki bersuara.

"Sori," lalu melangkah begitu saja melewati Nadin yang masih dilingkupi kebungkaman.

Tatapannya mengarah pada punggung Aksa yang semakin jauh dan menghilang di persimpangan koridor. Embusan napasnya kasar. Kenapa saat kenyataan menjawab semuanya, Aksa malah menjauh—atau mungkin menghindar?

Ia tidak mengerti kenapa semesta bekerja dengan cara seperti ini. Cowok itu sudah tak terlihat, Nadin berbalik dan menapaki satu persatu anak tangga untuk mencapai ke ruang kelasnya. Meski di setiap pijakan batinnya selalu bertanya-tanya. Tanya yang mungkin tidak ada jawabnya.

Minggu depan sudah Ulangan Akhir Semester 2, tidak terasa sebentar lagi ia akan menginjak kelas sebelas, dan kelak berumur tujuh belas tahun. Tidak terasa juga ... tahun depan cowok itu sudah hengkang dari sini. Meninggalkan Nadin dan semua materi yang pernah dijejalkannya pada otak gadis itu.

Mungkin kali ini, Nadin akan berusaha sendiri. Lagipula, Aksa mungkin sudah sibuk dengan persiapan-persiapan ujian untuk masuk universitas. Nadin hanya menyemogakan yang terbaik untuknya. Semoga ... memori yang pernah melekat pada mereka berdua tidak lagi menyakitkan. Semoga Aksa tidak lagi merasa bersalah pernah meninggalkan bahkan melupakannya.

Nadin hanya tidak ingin cowok itu terus-menerus berkutat dengan rasa bersalah di kesendiriannya. Teman yang sedikit bahkan hampir tidak ada, orangtuanya yang sudah tidak ada di sisinya, bahkan Aksa yang tidak bisa merangkul dirinya sendiri. Nadin hanya khawatir cowok itu terlalu larut dalam kesepiannya. Ia hanya ingin menemaninya, namun agaknya ... Aksa tidak butuh itu.

Langkahnya sampai di depan kelas seiring dengan netranya yang menangkap seorang gadis yang sedang bersedekap—siapa lagi jika bukan Klea? Raut wajah itu tampak menuntut jawaban meski Nadin tidak tahu apa yang membuat gadis itu bertanya-tanya.

"Gue disuruh kasih ini ke elo. Dari Aksa" tangannya mengulurkan sebuah amplop berwarna biru. "Dan coba jelasin ke gue. Kalian udah jadiaaannn?"

Pekak sekali telinganya kini. Klea sudah berjalan membuntutinya. Sampai bokongnya menyentuh permukaan kursi pun, mulut cewek itu tidak bisa bungkam.

"Woi, gue nggak jadian, anjir." bantah Nadin. Tangannya lalu terulur untuk mengetahui tulisan apa yang ditorehkan cowok itu.

Ternyata itu sebuah ajakan untuk bertemu. Klea yang lehernya berubah jadi lebih elastis karena mengintip ikut bersorak. Memeluk bahu Nadin dan mengucapkan kata-kata penyemangat.

Nadin heran, kok bisa dia berteman dengan cewek ajaib macam Klea?

"Dateng lah, Nad ... gue yakin seratus persen dia mau nembak lo. Asli, sumpah!"

Diliriknya Klea sekilas. Ada sejelemit rasa bergejolak yang timbul di perutnya. Nadin tidak tahu apa arti itu, tapi ... apakah ia harus datang? Kenapa Aksa tidak memberikannya langsung kepadanya padahal mereka berpapasan di tangga? Apa yang membuat cowok itu seakan segan bertemu dengan Nadin lagi?

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang