09. Teman Tidur

1.6K 240 21
                                    

Beep beep

Krist : jadiii aku akan menginap di rumah teman

Krist : matematika ternyata susah banget??? ok bye

L : Krist, lu baru kelas 11

Krist :  lucu bgnet haha trus?

L : Boleh dong gue bicara sama temen lo?

L : Biar kakakmu ini yakin kalau adiknya belajar

L : Bukan nongkrong :)

"Hmm.." Aku meregangkan tubuhku yang masih berada di pelukan Singto yang tidak sepenuhnya tertidur.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Lama juga manusia ini tertidur? Sesekali aku mencolek bahunya, berharap ada balasan. Seram juga kalau ia benar-benar tak bangun lagi karena overdosis alkohol.

"Kakak bisa angkat telfon lalu bilang kalau kita sedang belajar matematika dan apapun itu?" Tanyaku sambil memberikan ponsel-ku yang berdering.

Singto yang baru bangun langsung berubah kesal, "Ugh, sini HPnya!"

Tentu aku tidak mengharapkan banyak hal dari ini. Kita berdua masih mabuk dan benar-benar kelelahan. Tapi setidaknya L percaya kalau aku tidak pergi main ke bar dengan tanda pengenal palsu. Entah mengapa ia selalu menganggapku begitu.

"Halo— Iya benar, saya tutornya Krist... Bukan, bukan, saya kelas dua belas...  Nama? Oh, nama  saya Singto, Singto Prachaya... Apa ini kakaknya? Oh begitu... Krist?" Ia menatapku. "Krist is a very nice boy. Ia juga cepat menangkap pelajaran."

Kurang ajar.

"Baiklah, kuantar dia besok pagi dan kupastikan dia akan sampai ke rumah." Ia memutuskan panggilannya lalu mengembalikan ponsel-ku.

"Kok bisa?"

"Apa?"

"Kakak tadi kan mabuk, habis itu tidur hampir seharian, dan sekarang udah bisa merangkai kata biar aku bisa nginep?" Tanyaku dengan nada heran.

Singto tertawa pelan sambil mencium rambutku, "Lebay deh."

"Kakak gak laper?" Tanyaku. "Aku laper tau gara-gara dengerin kakak ngorok."

"Emang aku tadi ngorok?"

Iya. Dan dia tadi mendengkur sangat keras sampai aku tak bisa fokus melakukan apapun. Berbagai cara sudah kulakukan demi meredam suara. Dari memakai earphone, menutup telinga dengan bantal, bahkan hingga pindah ke ruangan lain. Tetap nihil hasilnya.

"Enggak sih." Aku terkekeh. "Yaudah sekarang temenin aku beli makan."

***

Setelah sepuluh menit kami berjalan kaki, kami hanya menemukan fakta minimarket dekat apartemennya ternyata sudah tutup. Aku heran kenapa ada minimarket yang tutup secepat ini. Tengah malam pun belum juga sampai. Tentu aku yang kelaparan hanya bisa meringis kesal sambil melipat tanganku. Lapar memang benar-benar bisa merusak mood.

"Jangan ngambek begitu." Ujar Singto. "Ayo pesan delivery saja."

"Gak mau!" Balasku masih dengan nada jutek. "Lagi bokek tau!"

Singto mengeluarkan ponsel­nya, "Aku traktir deh."

"Kakak sudah sering menraktirku." Aku merebut ponselnya. "Sekarang giliran aku yang menraktir!"

Aku melihat ke sekitarku. Sebenarnya aku sudah tertarik dengan keramaian di sebrang apartemen Singto. Kurasa itu seperti pasar malam atau foodcourt? Entahlah, Singto juga tidak pernah membahasnya. Mana mungkin Singto orang yang selalu mengurung diri di apartemennya mau pergi ke tempat yang ramai seperti itu.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang