Just One Day

316 18 10
                                    

Seokjin hanya pernah bertemu Yoongi satu kali.

Mereka tidak dapat dikatakan sebagai dua orang asing karena pernah saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. Seokjin ingat itu terjadi sekitar empat bulan lalu di apartemen Namjoon ketika ia berkunjung untuk mendiskusikan sebuah kasus pengadilan yang dijadikan materi kuis minggu selanjutnya. Di apartemen dua kilometer dari kampus itu, Seokjin berkenalan dengan Min Yoongi.

Unit apartemen Namjoon berada di lantai tiga belas. Seokjin rasa apartemen itu adalah satu-satunya yang berani menggunakan angka sial alih-alih melompati ke angka selanjutnya. Ia juga tidak terlalu nyaman dengan fakta Namjoon tinggal di tingkatan lantai yang biasanya diabaikan di kebanyakan bangunan tinggi lain. Namjoon memang tidak percaya mitos, sedangkan Seokjin tidak mungkin sampai hati menyuarakan paranoid yang mendera.

Lantai tiga belas, unit nomor empat. Seokjin mulai berpikir Namjoon sengaja.

Banyak orang-orang yang tidak mempercayai mitos dan hal gaib, berakhir tinggi hati dan menantang apa yang kebanyakan orang-orang takuti. Seokjin tahu meski ia tidak pernah menonton Youtube berkonten dunia mistis, tapi orang angkuh memang selalu ada di muka Bumi. Ia sendiri memilih untuk mengikuti mayoritas, toh tidak ada salahnya berjaga-jaga.

Tapi Namjoon—temannya yang satu ini adalah lelaki cerdas nan realistis. Namjoon percaya pada argumen dengan bukti valid, bukan omong kosong yang tidak dapat dibuktikan oleh panca indra dan akal sehat. Namun meski begitu, Seokjin tahu Namjoon bukan orang yang gemar menantang makhluk halus sebagai metode pembuktian logika.

Seolah membaca pikirannya, temannya itu membuka kunci pintu dan berkata, "Harga unitnya lebih murah karena memiliki nomor yang ditakuti banyak orang," ia tertawa kecil sebelum menambahkan, "Dan berada di lantai bernomor urut yang sering dikatakan membawa sial."

Lihat? Namjoon hanya ekonomis. Tapi Seokjin tetap merinding.

Ia mempersilakan diri sendiri untuk masuk setelah tuan rumah mendahului, membuka dan meletakkan sepatu di atas rak dengan rapi. Apartemen kecil Namjoon cukup berantakan, memiliki satu dapur kecil dan satu ruang tengah tanpa pembatas ruangan. Terdapat empat pintu yang dipastikan menuju kamar, kamar mandi, dan terakhir adalah balkon yang berguna sebagai pengingat masih ada pilihan lain jika sudah muak menjalani hidup di dunia.

Sekali waktu Namjoon pernah bercerita bahwa ia tidak tinggal sendirian, melainkan memiliki roommate yang menuntut ilmu di universitas yang sama dengan mereka. Di tahun ketiga ini, jadwal kuliah roommate-nya teramat padat hingga jarang terlihat eksistensinya di apartemen. Karena itulah Namjoon mengajaknya ke sana alih-alih mengunjungi café buku yang biasa mereka datangi bersama.

"Maaf berantakan, kau tahu aku," ucap Kim yang lebih tinggi dengan cengiran penuh lesung pipinya. "Aku akan mengganti baju lebih dulu. Jangan sungkan melakukan apapun yang kau inginkan."

Dengan izin tuan rumah, Seokjin memasuki dapur dan mulai memanaskan air untuk menyeduh teh panas. Penghujung musim gugur tahun ini benar-benar kelewatan, ia tidak dapat membayangkan sedingin apa musim dingin nantinya. Untuk orang yang tidak terlalu kuat dengan udara dingin seperti dirinya, liburan nanti pasti dipenuhi dengan bermalas-malasan bersama penghangat ruangan.

Seokjin bersenandung ringan, membuka kabinet dapur dan menemukan teh jasmine yang nyaris kadaluarsa. Ia hendak mencari saringan di rak cuci piring ketika membalikkan tubuh, lalu mendapati seseorang berdiri di belakangnya dengan poni yang cukup panjang hingga menutupi mata.

Kalau ia mengambil lebih banyak waktu untuk memerhatikan, ia akan menyadari bahwa kain hitam yang menyangkut pada pundak sosok di depannya adalah selimut alih-alih jubah pengikut setan di kebanyakan film horor juga supernatural. Tapi Seokjin yang sejak awal sudah tidak menyukai nomor lantai dan unit apartemen Namjoon hanya dapat melihat sosok pucat dengan pakaian serba hitam.

Just One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang