° 02 °

439 84 0
                                    

Juna menatap nyalang jendela yang terletak tepat di samping tempat ia duduk. Pelajaran sang guru tua yang berdiri di depan kelas tidak menarik atensinya sama sekali. Cara mengajarnya yang terpaku dengan ceramah membuat beberapa anak mulai terserang kantuk lalu mengistirahatkan kepala mereka di atas meja. Penglihatan sang guru memang sudah tidak terlalu baik, maka dari itu ia hanya terfokus pada papan tulis yang sedari tadi sudah dipenuhi dengan coretan.

Laki-laki yang memusatkan atensinya keluar jendela itu menghela nafas kasar seraya memandang fokus ke satu titik. Berbeda dengan tatapannya yang fokus, pikiran sang laki-laki sudah melanglang buana terpecah tak tentu arah.

"Bisakah kau berhenti merepotkan?"

Suara dari telepon kemarin malam masih menghantui pikirannya. Ia mulai mengepalkan tangan dengan kuat, menahan kesal yang kian memuncak mengingat percakapan ia dengan ayahnya. Lelaki tua itu suka ikut campur dalam urusannya, walaupun Juna sendiri telah hidup mandiri semenjak duduk di kelas 2 sekolah menengah pertama. Bahkan, adik dari ibunya yang selalu mengurus ia semenjak kelas akhir sekolah dasar tidak pernah mengajukan protes dengan pilihan hidupnya.

Semenjak hidup mandiri, ia tidak pernah mau menerima uang baik dari sang ayah ataupun sang tante. Ia menggunakan uang dari kemenangan turnamennya untuk hidup. Di umurnya yang terhitung masih belia itu, ia juga sudah mampu membeli tempat tinggal dengan uangnya sendiri. Tentu saja ia tidak hanya mengandalkan uang lomba dengan nominal tidak besar itu, ia juga memiliki profesi sampingan yang telah menjadi bahan pergunjingan orang lain.

Ya, benar. Juna memanglah seorang pejudi ulung sekaligus high-roller terkenal yang selama ini menjadi buah bibir. Ia harus selalu berterima kasih, karena berkat otak jeniusnya itu, ia mampu melipat gandakan uang bulanan yang dulu masih ia terima dari tantenya sebagai modal awal. Hidupnya termasuk berkecukupan sekarang, bagaimana tidak? berapapun nominal uang yang ia taruh di atas pit* akan kembali dengan jumlah yang berlipat ganda.

Laki-laki itu kembali menghela nafas kasar dan segera mengangkat tangannya sembari memanggil sang guru. Sang guru di depan mengalihkan atensinya pada Juna di ujung kelas, "Ya ada apa Juna?"

"Bisakah saya izin ke kamar kecil?" Juna bersuara datar.

"Baiklah," sang guru mengangguk dan kembali memfokuskan atensinya pada pelajaran yang terpotong tadi.

Juna berjalan menyusuri lorong sekolahnya yang sepi karena kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Kakinya tidak mengarah ke kamar kecil melainkan ke arah sebaliknya, ia berjalan santai menuju tempat biasa ia menenangkan diri, atap sekolah.

Sebuah punggung membelakanginya dengan kaki bergelantungan di pinggiran atap, menandakan seseorang sedang duduk dengan cara tidak aman melewati pagar yang sengaja dipasang oleh pihak sekolah. Juna memicingkan mata berusaha melihat melawan sinar mentari yang begitu silau hari ini. Orang itu berbalik menghadap Juna saat mendengar pintu atap di buka, senyuman langsung merekah dari bibir orang itu.

"Hei Jun," orang itu turun dari posisinya tadi.

Juna berdeham, "Tumben lo di sini."

"Yaila, berasa baru pertama kali lo ketemu gue di atap. Itu otak lo lagi ngebul ya? Keliatan asepnya dari sini," orang itu berucap diakhiri dengan tertawa garing.

"Bacot," ya ini lah Juna, singkat, padat, dan menusuk.

Sunu, atau lebih tepatnya Sultan Wisnu Dineshcara tertawa menanggapi ucapan Juna. Teman satu klubnya itu memang selalu irit dalam berbicara, tapi ia tidak pernah sakit hati ataupun kesal dengan sifat temannya itu. Baginya, semua hal pasti memiliki alasan yang ia tidak ketahui.

"Ada masalah ya?" Sunu berdiri di sebelah Juna yang sedang menengadah menatap langit.

Juna hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Sunu. Selalu begitu, walaupun ini bukan pertama kali mereka bertemu di atap, namun mereka tetap akan berujung saling diam dan bergulat dengan pikiran masing-masing. Juna juga bukan tipe orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, jadi dia ikut menikmati hal ini.

Bitter PunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang