8

32 3 0
                                    

Percuma memaksa orang-orang untuk diam. Jika yang berisik justru dari kepala sendiri.

"Maaf, Rama."

"Untuk?"

Ia berkali-kali melihat jam tangannya. Padahal pergerakan jarum jam itu tetap sama, kan? Tidak ada sejarahnya jarum jam tunduk patuh pada mereka yang ingin waktu berjalan lebih lambat hanya karena dilihatin terus-terusan.

"Maaf untuk semuanya."

Rama memandang lapang yang ramai oleh anak-anak MI bermain sepak bola. Ditambah siswa-siswi lain yang lalu lalang di sekitar lapang. Wajar, bel istirahat di hari pertama semester dua itu baru saja berbunyi di tiga instansi sekaligus. Jadi maklum saja jika lapang ini ramai oleh siswa dengan seragam yang berbeda-beda.

Begini rasanya bersekolah di sekolah swasta yang memiliki semua instansi pendidikan. Tempatnya juga berada pada komplek yang sama. Enggak jarang, mereka yang bawahan pakaiannya abu-abu, harus mengalah pada si celana merah. Tentang siapa yang lebih dulu mendapat nasi uduk di warung ibu.

"Aku yang harusnya minta maaf, man. Kayaknya beberapa bulan lalu, tangan aku kasar banget, ya?"

Perempuan penggemar nomor satu nasi uduk ibu itu tersenyum singkat.

"Apa kamu keganggu sama saya?" lanjutnya.

"Keganggu gimana?"

"Keganggu kalo saya enggak terbuka sama kamu? Kan saya tau rahasia kamu. Apa bener itu enggak adil, ma?"

"Lupain aja, jangan maksain gitu man. Aku percaya, suatu saat pasti ada waktunya."

"Waktu buat apa, ma?"

Rama tersenyum dan menyenderkan punggungnya pada pagar.




"Lupain aja."

Enak banget ya bikin aku bingung terus bilang lupain aja! Sabar, Amanda😌

"Pas lima menit, man. Urusanmu sama aku udah selesai. Si perempuan peringkat satu ini harus buru-buru buat seleksi lomba, kan?"

Amanda mengangkat lengannya agar jam tangan itu sampai pada penglihatannya, berniat memastikan apa yang ia dengar barusan.-

"-Gak usah diliat jam tangannya kalo kamu percaya sama aku."

Ia segera menurunkan lengannya itu. Ih apaan sih ini, kok aku nurut gini?!

"Ya-yaudah, saya udah ditunggu bu Santi. Izin duluan, ya?"

Rama menganggukan kepalanya. Ia membalikan badannya, kembali menyaksikan pertandingan sepak bola dua pihak yang sekarang rasanya tidak seimbang. Siswa MTs kelas 9 ikut campur dalam pertandingan itu. Membuat perbedaan diantara mereka semakin jelas. Postur tubuh dan warna celana panjang yang mereka kenakan. Tapi bagi Rama, ada kesamaan diantara mereka.

Laki-laki setua apapun tetep aja sama, bubudakeun! (baca: kekanak-kanakan).

"Eh, ma!" Suara itu terdengar kembali pada tempat sebelumnya.

"Ada yang kelupaan??"

"Kayaknya, saya setuju sama pendapat ibu."

"Pendapat ibu?"

Amanda tersenyum tipis.

"Lupain aja." jawabnya santai. Tanda ejekan yang sebenarnya tak pantas didapatkan seorang ketua OSIS yang telah menjabat selama lima bulan.

"Amandaaa!!!"

...

Semester satu mampu Amanda lalui dengan perasaan bersalah dalam dirinya. Enggak tahu kerasukan apa, kok bisa perempuan ini berani membuat ketua OSIS itu merasa terdesak. Semenjak hari itu, sapaan Rama hanya berlaku untuk keperluan organisasi saja. Begitu pula Wafi, tak ada lagi bayang-bayang perjuangan yang dia biarkan hidup menggentayangi Amanda. Tiba-tiba hilang begitu saja. Tak pernah ia dengar lagi suara panggilan dari lelaki berkulit putih itu. Itu lebih baik, sungguh. Amanda hanya sedikit merasa seperti ada yang hilang. Sedikit.

GriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang