I

706 36 0
                                    

I

"Assalamu'alaikum, Bang."

"Wa'alaikumsalam. Sudah bangun?"

Aku mengangguk, meski tahu bahwa dia tidak akan melihatnya. "Fatimah sedang enggak sholat, tapi tetap bangun karena pasti Abang akan telepon," ucapku.

Dia tertawa di seberang sana. "Abang juga tahu kamu sedang enggak sholat."

"Tahu dari mana?"

"Abang kan tahu siklus haid kamu."

Aku tersenyum dan yakin pasti pipiku sudah memerah, "Sok tahu."

"Bukan sok tahu, Dek. Tapi itu agar Abang bisa tahu kapan Abang harus bangunkan kamu waktu qiyamullail dan kapan enggak."

Senyumku makin lebar. "Lalu kenapa Abang tetap telepon Fatimah? Kan Abang harusnya istirahat. Di sana masih sekitar jam sebelas kan?"

"Iya, di sini teman-teman juga sudah mulai pergi tidur. Tapi Abang tidak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Menurutmu kenapa?"

"Karena kangen Fatimah dan Aisha?"

Dia tertawa renyah. "Itu tau."

Hening setelah itu. Aku hanya terduduk di tepi ranjang, menatap ke arah figura foto yang terpajang di atas nakas.

"Aisha masih rewel?"

Aku menoleh pada gadis kecilku yang terlelap dalam tidurnya. Kunaikkan selimut hingga sampai lehernya agar hawa dingin tidak mengganggu mimpi indah yang sedang dinikmatinya.

"Sudah baik-baik saja, Bang. Panasnya sudah turun. Maaf kemarin Fatimah sangat panik dan enggak tahu harus cerita pada siapa, jadi Fatimah mengganggu pekerjaan Abang."

Dia berdecak. "Abang rela kok diganggu Fatimahnya Abang yang paling cantik ini."

"Gombal!" Dia tertawa pelan, aku tersenyum. Beranjak dari ranjang, aku berjalan mendekat pada jendela. Tirainya bergoyang tersapu angin. Dari celah-celah tirai yang terbuka, aku bisa melihat dewi malam yang tengah bertahta anggun di angkasa sana. "Bang."

"Hm?"

"Malam ini purnama." Ada rasa nyeri menelusup dalam dada saat aku mengatakan itu. Purnama ini, purnama keenam yang kulalui tanpanya.

"Sudah enam bulan, ya? Cepat sekali. Rasanya baru kemarin Abang pamitan sama kamu dan Aisha."

"Ini lama, Bang. Lama sekali. Ini sulit buatku," lirihku. Aku ingin menangis sekarang.

Aku bisa mendengar dia menghela napas berat. "Ini juga sangat sulit buat Abang. Abang selalu rindu Fatimah dan Aisha. Kamu pasti tahu itu, kan? Tapi seperti yang Abang katakan sebelum berangkat waktu itu, ini adalah tugas Abang. Bukan hanya karena tugas kepada negara saja, tapi tugas sebagai seorang muslim yang harus membantu saudara sesama muslim lainnya. Abang yakin kamu paham akan hal itu."

Air mataku menetes tanpa permisi. "Fatimah paham, Bang. Tapi Fatimah di sini juga butuh Abang. Fatimah harus mengurus semuanya sendiri dan ini sulit, Bang. Abang tahu sendiri bagaimana kerabat kita selalu bersikap kasar, apalagi sejak Aisha datang, mereka makin kasar saja. Rasanya Fatimah ingin menyerah, Bang. Fatimah butuh Abang. Fatimah ingin terus di dekat Abang. Jujur, sejak Abang jauh dari Fatimah, mimpi-mimpi buruk itu selalu datang. Fatimah takut, Bang."

Aku menangis semakin terisak. Perasaan yang selama enam bulan kupendam sendiri akhirnya keluar juga. Aku cukup lelah saat ini. Aku lelah berpura-pura tegar. Aku lelah berpura-pura tersenyum dan baik-baik saja di depan semua orang. Aku lelah pura-pura bahagia tiap kali dia menghubungiku.

Surat dari AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang