Tembok hijau yang baru minggu kemarin selesai dicat itu menyambut kebukaan mataku pagi itu. Setelah lama aku merasa di rumah, aku harus kembali menatap dunia, menatap yang kata orang kenyataan. Berat kaki ku langkahkan tapi ini namanya perjuangan. Perjuangan yang bagaimana pun aku tak tahu, karena aku saja tidak tahu aku siapa.
"Gea, mandinya yang cepat!" tegur Ibu yang sepertinya dari dapur bawah sana. Entah sedang menyeduh susu atau memanggang roti.
"Gea bangun! Sudah bangun belum?" ternyata teguran tadi ada susulannya.
"Sudah, Bu. Ini mau mandi dengan cepat," jawabku diusahakan terdengar sampai sana.
" Kalau ditanya atau diajak bicara itu jawab Gea. Bukan diam saja," aku salah lagi.
" Iya bu. Maaf Gea salah,"
Handuk biru itu akhirnya aku ambil, perlahan berjalan, menanggalkan piyama doraemon biruku yang sepertinya sudah ada sejak aku SMP. Ini sebuah pujian atau kekhawatiran ya? Ukuran bajuku bertahan 3 tahun.
***
"Sarapannya dihabiskan Gea. Kamu butuh banyak nutrisi supaya bisa jadi dokter," kata Bapak dengan seragam lengkapnya siap bekerja.
" Iya Pak," jawabku dengan gumaman dalam hati , dia mulai lagi.
Sebelum lebih jauh aku bercerita, biar aku jelaskan sebenarnya apa yang terjadi. Aku Gea. Aku anak satu- satunya di keluarga ini. Keluarga yang aku tahu tidak mudah membangunnya. Aku juga sangat mengerti, mereka hanya ingin yang terbaik buatku. Dan aku saat ini juga sangat yakin. Memang itu yang terbaik buatku. Aku hampir saja dikembalikan ke alam surga, tempat para malaikat latihan meniup sangkakala tepat di hari aku seharusnya belum lahir. Bapak dan Ibu kesulitan punya anak, dan punya aku di kehidupan pernikahan mereka yang sudah 5 tahun tidak diwarnai tangis bayi; adalah sebuah keajaiban.
***
" Suster, tolong ini segera suster air ketuban istri saya sudah pecah," kata Bapak pada seorang petugas rumah sakit lain sambil memegang erat Ibu yang kesakitan.
Bapak saat itu masih mengenakan seragam biru tua rumah sakit yang sama dengan lap dan sarung tangan yang masih menggantung di celananya yang penuh dengan saku. Ibu sangat kesakitan hari itu. Aku masih berusia 8 bulan dan seharusnya masih bermanja dalam rahim Ibu tapi aku harus keluar. Ibu aku minta maaf, bahkan saat aku datang ke dunia pun, aku menyusahkan.
" Sebentar Pak, ini tolong diurus dulu administrasi pendaftaran rumah sakitnya. Pakai BPJS atau tidak?" kata suster itu dengan nada santai.
Jumat, 12 Mei 2002 pukul 03.00 WIB. Subuh itu, rumah sakit harus dikacaukan dengan persiapan lahirnya aku. Mungkin itu mengapa perawat itu sangat malas menanggapi kami. Terlebih, Bapak cuma karyawan kebersihan yang shift-nya baru saja diganti.
" Suster tolong lah, ini istri saya sudah kesakitan. Tolong diurus dulu saja istri saya," mohon Bapak sambil menangis.
Ini pengalaman pertamanya, menjadi seorang calon ayah setelah 5 tahun bertahan dengan caci maki tetangga dan keluarga besar hanya karena pernikahan tanpa anak mereka. Padahal sampai aku sebesar ini, belum sekalipun aku lihat pasal atau aturan manapun yang mengharuskan sepasang suami istri harus punya keturunan.
"Saya cuma tanya. BPJS atau bukan?"
" BPJS sus,"
" Kalau BPJS, Bapak tunggu di sana dulu, ada kursi antrean," suster tersebut menjawab sambil menunjuk kursi dimana kami harus menunggu.
Kelihatannya, saat itu rumah sakit sedang sangat penuh. Apa Tuhan memang menggariskan banyak anak lahir hari ini? Kata Bapak, banyak keluarga menunggu proses kelahiran anak, cucu, keponakan mereka hari itu. Bapak sangat sedih tidak bisa berbuat apa- apa di rumah sakit besar yang memang tergolong rumah sakit elit dan membiarkan kami diperlakukan berbeda dengan pasien lainnya, dengan posisi Bapak adalah pekerja di sana. Aku, aku sangat mengerti kesedihan itu.
***
Seorang dengan jas putih menyelimuti punggungnya, iya. Dia pasti dokter. Melihat kami terutama ibu yang masih menangis sambil memegangi perutnya, dibantu Bapak. Kalau dilihat dari keterangan nama di kalung pengenalnya, namanya dr. Putra.
" Pak Ahmad, ini kenapa istrinya tidak langsung dibawa saja? "
" Saya disuruh tunggu, dok. Saya pakai BPJS dan sekarang sedang banyak pasien,"
Lelaki yang sepertinya akrab dengan Bapak itu langsung menghampiri meja informasi rumah sakit ini. Berhadapan dengan suster tadi, yang sepertinya sangat tidak rela kalau aku harus lahir hari itu, ya.
" Atas nama pak Ahmad, langsung saya tangani,"
" Sekarang? "
" Ya sekarang. Harus menunggu berapa lama orang yang sedang kesakitan? "
Tepat setelah pak dokter membalikkan badan, kami dibantu petugas lainnya untuk segera masuk ruang bersalin. Bapak ditanya beberapa hal dan akhirnya pak dokter itu berkata,
" Pak, ini harus dibedah ya. Umur kandungannya belum genap waktu lahir normal. Ada beberapa dokumen yang harus Bapak tanda tangan sebelumnya, tolong dibaca dan diselesaikan segera supaya kita bisa mulai prosesnya,"
Bapak mengikuti petugas medis yang menjadi orang kepercayaan dr. Putra tadi. Entah memang tugasnya atau memang dia orang kepercayaannya, namun firasatku dia orang baik.
" Pak ini dokumennya mohon dibaca. Ada persentase keberhasilan prosesnya juga, saya harap bapak mengerti,"
" Iya, anu... Mas, biayanya bagaimana ya? " tanya Bapak pesimis. Bapak saat itu tahu, proses bersalinku pasti memakan biaya sangat besar.
" dr. Putra bilang, tidak perlu dipikirkan sekarang,"
Putaran jarum jam akhirnya bisa dirasa lebih tenang, padahal mereka berputar biasa saja. Hanya Bapak yang merasa itu lebih lama atau lebih cepat. Pasti Bapak sangat khawatir saat itu.
Setelah proses yang panjang, aku harus bilang kalau aku ini penuh keajaiban. Aku hadir setelah 5 tahun penuh sepi dan cercaan bagi kedua orang tuaku, dan lahir dengan keajaiban yang tak pernah terduga juga sebelumnya.
Benar saja. Dr. Putra yang membiayai seluruh proses bersalin Ibu. Aku akui, tanpa kehadiran beliau aku pasti tidak ada sekarang ini, ada di buku ini menemani kalian. Beliau orang yang sangat baik dan ya.. Siapapun akan mau menjadi sepertinya, termasuk Bapak. Bukan, bukan Bapak mau jadi dokter yang dermawan. Bapak mau aku, aku yang menjadi impiannya.
" Tidak perlu dibalas pak Ahmad. Saya hanya berharap putri Bapak nanti jadi orang yang berguna buat bangsa dan sesama ya," satu kalimat terakhir yang dr. Putra sampaikan kepada Bapak beberapa saat sebelum hari itu kami meninggalkan rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Niskala
Fiksi UmumKetika aku menjalani hidup, aku merasa aku tidak menjalaninya. Setidaknya inilah yang tersedih. Menjalani hidup yang bahkan tak mau kau jalani. Hidup tidak, mati apalagi. Aku selalu berpikir kalau ketika sudah waktunya aku pergi, itu adalah hari- ha...