II
Dua minggu sejak percakapanku dengannya pagi itu, dia tidak lagi menghubungiku. Itu membuatku sangat khawatir, apalagi email-email yang kukirimkan padanya juga tak kunjung dibalas. Rasa khawatir membuatku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar belakangan ini. Kehilangan fokus saat mengerjakan tugas, menggosongkan telur yang kugoreng untuk sarapan Aisha, memakaikan seragam yang salah pada Aisha, dan beberapa kesalahan lainnya.
Pikiranku hanya dipenuhi oleh namanya saja sehingga semuanya berjalan tidak lancar. Namun aku tetap berusaha bersugesti bahwa dia tengah berada di tempat yang sulit sinyal sehingga susah untuk berkomunikasi lewat telepon. Ya, itu masuk akal bukan? Di daerah perbatasan seperti itu, biasanya fasilitas sinyal pun sulit terjangkau.
"Abangmu masih sulit dihubungi?" tanya Mbak Rita. Saat ini kami tengah duduk di halaman sebuah sekolah dasar, menunggu bel pulang berbunyi.
"Iya, Mbak. Fatimah khawatir sekali. Terlebih lagi Aisha selalu menanyakan Abang. Sudah cukup lama dia enggak mendengar suara Abang," jawabku getir.
Mbak Rita mengusap punggung tanganku. "Tenanglah, Fatimah. Nanti Mbak bantu tanyakan pada Fadhil, mungkin saja dia dapat kabar dari Abangmu dan teman-temannya di sana. Mbak akan coba hubungi Fadhil, maklumlah adik Mbak satu-satunya itu belakangan ini cukup sibuk di asrama."
Aku mengangguk. "Terima kasih, Mbak. Semoga Allah melindungi Abang dan semua teman-temannya. Doakan saja, Mbak."
"Aamiin. In sya Allah Mbak akan selalu mendoakan."
Tak lama bel pulang berbunyi. Seorang gadis berusia tujuh tahun yang menggendong tas punggung berwarna merah muda, tampak berlari tergesa-gesa menghampiri Mbak Rita. Di belakangnya, seorang anak perempuan sebayanya berjalan pelan mengikutinya dengan satu kaki ditopang kruk. Secepat kilat, dia langsung memeluk kakiku. Aku berlutut, menyejajarkan tinggi badan kami. Dan saat itulah aku melihat pipinya yang sudah basah oleh air mata. Bola mata beningnya menatapku berkaca-kaca, kemudian kedua tangannya mulai bergerak-gerak pertanda dia akan berbicara.
"Aisha benci Didit." Dia menggerakkan tangan sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku membalasnya dengan menggerakkan tanganku juga. "Kenapa?"
Dia gerakkan tangannya lagi. "Didit jahat!"
"Memangnya Aisha diapakan?"
Namun tak ada lagi jawaban dari gadis kecilku ini. Dia sudah terlalu kesal entah oleh apa, karena itu tampaknya dia malas berbicara dengan siapapun. Aku menghela napas, kemudian beralih menatap Shilla yang sudah berdiri di samping Mbak Rita.
"Shilla, Aisha kenapa?" tanyaku.
"Tadi kita disuruh menggambar anggota keluarga kita oleh Bu guru. Aisha menggambar gambar Tante Fatimah dan Om Rahman. Lalu Didit mengatakan kalau Aisha enggak punya ayah dan ibu. Aisha cuma punya dua kakak, tapi tidak punya ibu karena salah Aisha sendiri. Tapi Aisha bilang kalau Om Rahman itu bisa jadi ayah Aisha juga. Lalu Didit bilang kalau Om Rahman itu enggak sayang dengan Aisha karena itu Om Rahman enggak pulang-pulang lamaaa sekali. Om Rahman enggak suka pada Aisha karena Aisha bisu. Ayah dan ibu Aisha juga buang Aisha karena enggak suka Aisha bisu."
"Hush! Enggak boleh bicara seperti itu, Shilla." Mbak Rita menegur Shilla.
"Enggak, Bunda. Itu yang Didit katakan. Shilla enggak bohong."
Aku beristighfar dalam hati. Didit tidak mungkin mendapatkan kata-kata seperti itu jika tidak mendengar dari orang lain. Pasti ada yang berbicara kasar tentang Aisha, dan tanpa terlalu dipikir pun aku sudah bisa menebak siapa yang mengatakan itu. Mbak Dina, pasti dia yang mengatakan hal seperti itu pada anaknya. Entah sampai kapan sepupuku dan keluarganya itu akan berhenti menyakiti hati kami. Bahkan sampai saat ini, kami tidak tahu apa kesalahan yang sudah keluarga kami lakukan pada mereka.
Sejak orang tuaku meninggal dunia, mereka semakin gencar menyakiti kami melalui kata-katanya. Apalagi sejak kami mengadopsi Aisha yang tuna rungu sekaligus tuna aksara sebagai bagian dari keluarga kami, mereka semakin menyulutkan api kebencian pada kami. Dan terakhir kali, bahkan mereka pernah mendoakan Abang agar tidak selamat saat bertugas di perbatasan Palestina. Nauzubillahi min dzalik. Semoga Allah selalu melindungi hamba-hamba-Nya yang sabar dan tawakal.
***
Bersambung ke bentuk pdf ya. Harga 3k. Yang minat bisa langsung chat aku di nomor WhatsApp 081215662514. Terima kasih sudah baca cerita ini ❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat dari Abang (Trailer)
Short StoryAbang cinta Fatimah. Abang sayang Aisha. Selalu. Karena Allah. Tolong selalu ingat itu, bidadari cantiknya Abang.