Anak itu barangkali adalah anak paling ceria yang ku temui sekitar 4 tahun silam.
Pagi itu, ketika seharusnya anak-anak sekolah sedang upacara di lapangan, ku lihat dia datang ke warung internetku dengan senyuman lebar. Rok birunya tersetrika dengan rapi, baju putihnya bersih seperti surga. Dengan langkah riangnya dia duduk di depan meja kasirku, gigi putihnya terpampang dengan begitu indah, membuat susunan gigi depannya yang rapi terlihat jelas. Aku tidak kenal dia, tapi tak ku usir juga dia dari sana.
"Kenapa tidak upacara?" ku ingat dulu aku bertanya begitu kepadanya. Bukan menanyakan nama, bukan pula ingin tahu kenapa dia kesini, tapi aku ingin tahu alasan apa yang membuat anak SMP tersebut bisa mangkir dari upacara bendara. "Malas. Kabur. Mau main internet." Aku juga ingat jawabannya yang diucapkan dengan suara tinggi kas anak perempuan pada usianya. Aku tidak melakukan banyak pada waktu itu, selain menjijitkan alisku. Tak ku katakan padanya bahwa main internet berarti dia harus menatapi komputer, bukan menatap wajahku.
Aku juga ingat hari itu dia dengan semangat menanyakan kenapa aku tidak bertanya namanya. Waktu itu aku merasa tidak perlu, kenapa aku harus tahu nama anak SMP yang tiba-tiba masuk ke warung internetku dan menontonku seperti aku adalah tontonan terbaiknya?
Ketika upacara di lapangan selesai, dia dengan cepat keluar dari warung internetku dan meneriakkan kalimat 'aku tidak boleh ketahuan kabur.'
Setelahnya, dia tidak pernah lagi masuk ke warung internetku. Jarang ku lihat dia berkeliaran di luar sekolahnya. Aku hanya terkadang melihatnya ketika dia membeli peralatan menulis atau mem-fotokopi buku di toko atk di seberang warung internetku. Frekuensi pertemuan kami yang jarang, membuat aku sama sekali tidak tahu menahu tentangnya. Tidak namanya, tidak juga tempat tinggalnya. Aku hanya mengenalnya sebatas anak yang suka mencuri-curi pandang ke warung internetku dari jendala kelasnya yang menghadap jalan raya.
Tidak setiap hari aku memikirkannya, tentu saja. Dia hanya satu dari ribuan anak SMP yang berlalu lalang di sekeliling warung internetku. Tidak ada yang spesial. Hanya perasaan mengenali ketika tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Tapi, dia selalu aku ingat sebagai anak yang tersenyum paling cerah, paling lebar, dan paling manis.
Satu tahun berlalu ketika akhirnya aku mendapatkan lagi kunjungannya yang kedua. Aku hampir-hampir tak mengenalinya. Dibalut dengan seragam SMA yang menempel di tubuhnya dengan cantik, penampilannya sudah berubah. Kini rambutnya sudah dia model menjadi potongan yang lebih trendi, sorot mata dan raut wajahnya sudah tidak sepolos kali pertama dia datang kesini. Tapi, senyuman lebar itu masih tetap sama. Secerah dan semanis itu.
Hari itu dia juga duduk di hadapanku. Menontonku seakan aku film yang begitu menarik, dan aku tetap tak juga mengusirnya. Ku biarkan dia duduk sana, kali ini tanpa menanyakan apa pun padanya. Bahkan tidak juga alasan kenapa dia kesini, mengetahui dari nama SMA di lengan bajunya, letak SMA-nya lumayan jauh dari sini.
"Kenapa tidak tanya kenapa aku kesini?" Hari itu dia mendesakku untuk bertanya. Di bibirnya menggelayut kekecewaan karena aku tidak mengajaknya mengobrol. Dia merajuk. Merajuk dengan alasan yang tak ku tahu pasti. "Kenapa harus tanya?" ku jawab dia begitu. Dia diam, tapi rajukannya masih belum hilang juga. Hal itu membuat aku kangen melihat senyuman lebarnya yang dulu biasa aku lihat.
Seolah membaca pikiranku, dia kemudian tersenyum lebar. Giginya masih serapi dan seputih dulu, sudut-sudut bibirnya masih membentuk senyuman yang manis, walaupun sekarang senyuman itu tampak mendewasa. Membuatnya tambah manis. "Masih nggak ingin tahu namaku?"
Aku masih tidak menjawab pertanyaan itu. Berpikir itu tidak perlu. Dia hanya satu dari banyak orang yang tampaknya menikmati waktunya untuk menggodaku, dan aku menolak untuk ikut permainan itu. Jadi, ku diamkan dia.