Setelah sholat Isya hampir di semua kampung di sebuah kota yang berdekatan dengan Surabaya, menutup rapat pintunya. Mereka digemparkan dengan berita mengenai andong pocong. Kasak kusuk yang berawal dari sumber tak jelas itu, semakin berasap dan semakin berkembang. Sebagian membuat masyarakat percaya dan sebagian lagi banyak yang tidak percaya.
Di sebuah desa yang penghuninya mulai banyak yang hengkang, karena bau belerang yang semakin menyengat. Sebuah rumah dengan sinar yang redup, mengunci rapat pintunya.
“Bu e! Mas Raka belum pulang kuliah lho, gimana?”
Wanita dengan banyak keriput di wajahnya itu, terlihat cemas. Dia seakan kebingungan.
“Iya, Fit. Apa Mas kamu enggak ngerti soal terror itu yang lagi marak di desa kita?”
“Eeehhh, terror ….”
“Stop! Jangan kamu lanjutkan menyebut nama itu, Nduk!” sentak Bu Lusniah.
Fitri langsung membekap mulut dengan kedua telapak tangannya. Bu Lusniah langsung melirik ke arah jam dinding. Detaknya semakin terdengar kencang. Degub jantung mereka seakan mengikuti irama detak jam dinding di setiap detiknya.
“Hampir jam Sembilan malam, Bu!”
“Gimana sih Mas kamu itu, Nduk? Biasanya kalau sabtu begini, siang sudah sampai rumah.”
Gadis SMA itu terlihat duduk di atas kasur dengn memegang erat kedua lututnya. Beberapa kali dia menggeleng.
“Fitri juga enggak tau, Bu!”
Desa itu terlihat seperti desa mati. Poskamling yang biasanya ramai oleh beberapa warga berjaga, terlihat sunyi. Tak ada seorang pun yang berani ke luar atau sekedar mencari udara segar di teras rumah mereka.
Tiba-tiba, sebuah ketukan terdengar di pintu depan.
Tok tok tok!
Pandangan mata Fitri langsung menatap ibunya yang terlihat tegang. Gadis itu, langsung menggenggam tangan ibunya erat.
“Siapa Bu?”
“Huuust!” ujar wanita itu seraya meletakkan ujung jarinya di bibir.
“Ibu mau ke mana?”
“Sebentar, Fit! Siapa tau kakak kamu. Kasihan ‘kan?”
Tak lama kemudian, terdengar kembali suara ketukan itu.
Tok tok tok!
“Ibuuu,” bisik Fitri dengan menggeleng.
Wanita itu, terus beranjak dari tempat tidur. Dia melongok ke arah ruang tamu. Belum sampai dia mengintip dari balik korden jendela. Wanita itu mendengar suara aneh.
Kerincing … kerincing … kerincing!
“Haaaaah!”
Dia langsugn membekap mulutnya sendiri. Pandangan kedua matanya menjadi nanar seketika. Jantungnya mulai berdegub sangat kencang. Perlahan wanita itu, beringsut mundur. Bu Lusniah terduduk di ranjang, dengan napas yang tersengal-sengal.
“Buuu …”
Kembali wanita itu, menggelengkan kepala dan meminta Fitri untuk tetap diam. Setelah lima belas menit mereka lalui dengan penuh ketegangan, suara ketukan itu tak lagi terdengar.
“Fit … Ibu tadi mendengar suara itu,” bisiknya.
“Suara … itu?” tanya Fitri ulang.
Mereka berdua tak berani menyebutkan ‘Andong Pocong’ yang sangat menghantui desa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR ANDONG POCONG
HorrorJangan pernah menyebut namanya. Kisah yang hadir berdasarkan dari cerita nyata yang pernah semarak di tahun 2007. Jangan membuka pintu, atau melihat kehadirannya. Bila terdengar suara kerincing dan tapak kaki kuda, sebaiknya tutup telinga.