Tentang Kunang-Kunang

45 2 0
                                    

TENTANG KUNANG-KUNANG
Ramadhan

Steven menarik kuat lenganku yang sedari tadi masih sibuk mengetik di depan layar laptop. Ia begitu bersemangat ingin menunjukkan kunang-kunang kepadaku. Mama menasehati agar kami tidak pulang terlalu malam. Setelah pamitan, kami berlari cepat menuju batas kampung Maemol Utara (Kab. Alor). Beberapa anak kecil yang bermain di jalan berlari mengikuti langkah kami.
Sepanjang jalan kami bercerita tentang suanggi (setan), tentang buah-buahan di hutan, hewan buas, air terjun di pedalam hutan ini, hingga tentang goa yang digunakan sebagai tempat persembunyian tentara zaman dulu ketika menghadapi Belanda.

Lokasi yang kami tuju berada pada ketinggian di sebalah timur desa. Pada sisi jalan setapak menuju sana, terdapat banyak jagung muda berdiri rapi bak barisan prajurit TNI, menandakan sekarang sedang musim tanam. Musim tanam berarti pula musim hujan. Tanah baru bisa ditanami kalau sedang musim hujan. Sebab di sini tidak ada sumber air selain hujan.

“Bapak Guru, di atas sana, kita bisa melihat kunang-kunang dari atas bukit” teriak Steven yang sama sekali tidak merasa kecapean.

Saya menjadi penasaran, “Kunang-kunang jenis apa yang akan ditunjukkan Steven kepadaku sehingga harus mendaki bukit tinggi ini”.

“Ayo Bapak guru, tite pana gea (mari kita jalan)” Steven tambah bersemangat. 

Aku dan Steven mulai menanjaki lereng bukit ini. Selangkah dua langkah semakin tinggi ke atas. Kaki harus menginjak bagian tanah yang tepat, supaya tidak tergelincir. Paling aman, meminjakkan kaki pada bebatuan dan akar-akar pohon. Tangan sambil memegang dahan pohon dan sesekali mengibas ranting yang menghalangi perjalanan.

Setelah agak lama mendaki, kami sampai pada puncak bukit yang dimaksud Steven. Kami memandang hamparan ladang nan luas. Beruntung, kali ini langit lebih cerah dari kemarin. Senja tampak lebih cantik dari biasanya. Awan terlihat seperti guratan cahaya kuning keemasan. Kami duduk di sebuah batu besar berwarna hitam yang agak datar. Di sekelilingnya terdapat banyak hamparan ilalang. Angin yang berhembus kencang, menerbangkan bunga ilalang, membawanya kesana kemari dan tak sedikit yang menempel di baju kami. Aku melihat, laut biru yang membentang luas nun jauh di sana serta negara pecahan Indonesia, Timor Leste.

Melihat Timor Leste, mengingatkanku pada negara itu semasa masih menjadi bagian dari NKRI. Namun demi kepentingan politik, serta provokasi dari Australia, Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia.

Di tengah lamunan, Setevan menyadarkanku
“Bapak guru, kita punya negara kaya ko (atau) tidak?”
“Kayalah, memiliki banyak sumberdaya alam”
“Habis kenapa sapu (saya punya) kampung jalan tida ada?”
“Steven kita pung (punya) negara itu, sangat luas dan besar. Terdiri dari 17 ribu pulau. Sangat susah untuk membangun jalan sebanyak pulau itu. Kalau Timur Leste na kicil (kecil) jadi mudah membangun jalan.
“Tida (tidak) Bapak Guru, pemerintah tidak sayang kita (kami).”
“Ae pemerintah sayang lu ko tida (sangat sayang pada kalian). Buktinya pemerintah kirim bapa guru dari Jakarta, buat ngajar lu (kamu).
“Hem.” Nada mendehemnya berat, mendandakan ia tidak puas dan sepertinya menyimpan kekesalan.

Langit kemerahan berubah pekat, senja telah berganti malam. Tidak tampak lagi ladang nan luas, beberapa rumah terlihat menggunakan pelita sebagai penerangan. Di seberang lautan, negara tetangga, Timor Leste, tampak cahaya terang dengan gemerlap lampu kota. Kerlap-kerlip lampu di jalan, tampak sangat cantik mempesona. Cahaya mobil yang lalu lalang, menambah keindahan malam kota Dili. Pemandangan yang tak ‘kan pernah ditemukan di kampung Steven.

“Bapak Guru, liat, kunang-kunang su (sudah) tampak. Banyak sekali. Indah betul, cantik bukan main.” Teriak Steven menunjuk cahaya mobil yang berseliweran itu.
Sontak aku kaget. Terdiam dan termangu. Ternyata kunang-kunang yang ingin Steven perlihatkan padaku adalah cahaya lampu mobil di kota Dili. Cahaya kendaraan yang berwarna-warni di negera seberang. Timor Leste.

“Bapak Guru, kunang-kunang bagus ko tida (bagus kan)?” sambil melempar senyum malu-malu kepadaku.

Kuraih tubuh mungilnya, kusandarkan pada tubuhku, sambil mengusap rambutnya yang keriting. Kubisikkan pada telinganya.
“Itu bukan kunang-kunang Steven, itu mobil, kendaraan yang dapat mengangkat dan mengangkut manusia, barang dan hewan”
“Kalau begitu, aku mau mobil Bapak Guru”
“Kalau Steven mau mobil, Steven harus belajar yang rajin”
“Ya Bapak Guru, steven akan belajar yang rajin biar punya mobil”

SELESAI


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang Kunang-kunangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang