Ahad pagi selepas sholat subuh, Wira tak langsung kembali ke kamarnya. Ia membantu santri-santri yang sedang mendapat giliran piket. Mereka membersihkan masjid dan merapihkan perpustakaan yang ada di pondok. Setelah itu, ia dan beberapa santri putri menyirami bunga yang berjajar memghias halaman.
"Ustadz!" Najwa berteriak sambil berlari ke arah Wira.
"Hai, bidadari kecil. Udah sarapan? Apa puasa?"
"Ndak puasa lah kan bukan hari Senin."
"Haha, ayo sini!" Wira menggandeng tangan Najwa, membawanya ke tengah-tengah kerumunan santri yang tengah merawat tanaman.
Najwa menyentuh-nyentuh kelopak bunga mawar. Mata belonya berkedip-kedip, dan tiba-tiba tangannya menyentil mahkota mawar dengan ekspresi kesal.
"Eh, ndak boleh jahat sama makhluk hidup." Salah satu santri putri mengingatkan Najwa sambil menampik tangannya.
"Najwa ndak suka mawar."
"Tapi ndak berarti Najwa mesti berbuat begitu. Ndak ada perbuatan tercela yang menjadi halal dilakukan hanya karena alasan kita ndak menyukai suatu hal."
"Hei, kenapa kok ribut-ribut?" Wira melerai adu mulut antara Najwa dan salah satu santri.
"Najwa ngerusak mahkota bunga mawar tuh Ustadz."
Wira jongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Najwa. Mengusap kepala Najwa lembut sambil tersenyum, "kok Najwa tega sih?"
"Najwa ndak suka mawar."
"Ya udah. Jangan diulangi lagi ya." Wira bertutur lembut sambil mengusap-usap pipi Najwa. Ia terheran ketika cairan panas mengalir di pipi Najwa menetes di tangannya.
"Lho kok nangis?"
"Nanti kalau Ustadz menikah, Najwa ndak akan kasih bunga mawar."
Kedua tangan Wira beralih memegangi pundak Najwa sambil mengernyitkan dahi tak mengerti.
"Najwa ndak ingin Ustadz jadi kaya Mas Rayhan." Najwa melepaskan tangan Wira dari pundaknya sambil berlari pergi meninggalkan Wira yang menunduk, masih dalam posisi jongkok.
"Assalamualaykum Ustadz!" Tiba-tiba suara Retno berhasil membuatnya mendongakkan kepala.
"Wa'alaykumussalam warohmatullah!" Sambil berdiri, menatap Retno yang menunduk.
"Saya mau bicara. Ada waktu?"
Wira menengok sekeliling, kemudian mengangguk. "Kesana!" ia menunjuk ke arah taman, kemudian berjalan terlebih dulu, Retno mengikut di belakang.
Sampai di taman pondok, Wira mempersilakan Retno duduk, Retno menurut, sementara Wira berdiri bersandar di pohon palem.
"Kalau Ustadzah bertanya tentang hari pernikahan, saya belum bisa jawab."
"Memangnya, masalah apa yang membuat Ustadz menunda begitu lama? Di awal-awal, saya masih bisa terima dengan alasan berkabung, tapi ini sudah sangat lama. Dan saya yakin, sebagai manusia yang paham betul ilmu agama, dan memiliki banyak anak didik yang membutuhkan bimbingan setiap hari, ini bukanlah hal yang baik. Bukan begitu Ustadz?"
Wira diam tak menjawab, ia mendongak menatap langit tak memandang Retno sedikitpun.
"Karena Mba Nisa? Mba Nisa sudah banyak yang menjaga, Ustadz. Apa yang Ustadz khawatirkan?"
Wira masih tak merespon.
"Oh, apa jangan-jangan Ustadz berharap menggantikan Mas Rayhan?"
"Jangan berprasangka buruk! Lagipula saya hanya menunda pernikahan, bukan membatalkan." Wira menyaut, masih dalam posisi yang sama, mendongak menatap langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"