***
Kiku melangkah lemas. Bukan lelah yang mengganggunya, bukan juga karena soal ujian yang sulit-sulit. Tapi karena ia tidak bertemu dengan Yuu.
Kini ia sadar kebetulan itu tidak selalu ada. Bisa saja ia membuat kesengajaan lagi seperti naik kereta dulu ke stasiun Yuu, tapi mustahil ia lakukan setiap hari karena sedang menghemat uang saku. Atau naik kereta tapi ketika Yuu tidak turun lagi, tapi itu terlalu merepotkan.
Belum lagi ia tidak seperti remaja lainnya yang langsung bisa kontek-kontekan untuk janjian pulang bersama. Gadis itu tidak punya alat komunikasi jarak jauh apa pun.
Headset di kepalanya masih hangat ketika ia taruh di meja makan yang super berantakan.
Kini gadis itu beralih ke tasnya yang penuh sesuatu. Satu persatu benda itu ia keluarkan. Benda yang ia angkut karena membuatnya gelisah saat melirik ke kotak surat yang menganga.
Botol-botol itu, gadis itu tidak lagi ingin meminumnya. Ia harus bilang ke ibu untuk menghentikan dokter yang mengirim ini secara berkala.
Botol-botol kaca dengan warna mencolok dari bagian dalamnya. Kuning yang berasal dari butir-butir obat yang Kiku berharap itu adalah telur ikan emas. Hingga saat ia cemplungkan ke wastafel bisa keluar ikan-ikan kecil yang dapat menaikkan kadar cerianya sore ini.
Setelah memastikan butir-butir menyeramkan itu tersedot seluruhnya, Kiku berbalik, menyandarkan punggungnya, memandang ruang makannya yang menyisakan banyak sampah-sampah.
Ia tidak ingin berberes, tapi kalau ia tidak melakukan itu hanya akan membuat ibu yang sibuk bersih-bersih ketika pulang. Tidak berkutat di dapur coba memberikan hidangan spesial seperti biasa. Ia tidak hanya makan ramen atau hal-hal instan lain. Kiku tidak suka, jadi gadis itu memegang kantong plastik sekarang.
Tangannya bergerak kaku ke arah sampah-sampah. Memasukkan satu persatu pada kantong yang
dibawanya. Setengah jam Kiku berkutat dengan rumahnya, sekarang waktunya untuk membereskan tubuhnya.yang berkeringat. Ia harus mandi.Gadis itu masuk ke kamar mandi. Melepas pakaian luarnya dengan agak malas. Tinggal tubuh dengan kaos tanpa lengan yang ia lihat dalam cermin. Kiku meneliti dirinya sendiri.
Wajahnya kusam karena tidak pernah ia rawat, rambutnya juga diikat asal-asalan.
Yang paling menonjol adalah bagian pundaknya yang seperti menyusut dari terakhir ia lihat. Membuat beberapa tulang di sana tercetak dengan jelas.
"Rasa-rasanya aku nggak pernah akan bisa gendut seperti, Ayah." desisnya lantas menghidupkan kran bak mandi.
~ ☆ ~
"Kamu senyam-senyum terus akhir-akhir ini," seru Pangeran Daruma menggeser kursinya mendekati Putri Tidur.
"Ya, aku memang lagi seneng."
"Cuma karena dapat benda yang bisa muterin musik di telinga itu, kamu jadi seneng?"
"Headset. Sebetulnya nggak seluruhnya karena itu." jawab Putri Tidur membuat Pangeran Daruma menggerakkan kumisnya naik turun.
Tak lupa bibir lelaki itu juga maju beberapa senti.
"Aku rindu Peri Kecil, kenapa dia harus pergi untuk beberapa hari?" Pangeran Daruma menatap sekeliling hanya ada Sansan yang sedang serius meneliti lembar jawab ujian mereka. "Padahal ini waktunya ujian."