Dengan pakaian basah di beberapa tempat karena terkena hujan, Daniel melangkah masuk ke dalam apartemen.
Melihat sepatu Jihoon sudah ada di lorong, senyumnya mengembang otomatis secerah anak matahari. Ia melangkah ringan ke ruang tengah dan memanggil Jihoon dengan mesra, "Sayangku~"
Bukannya suara Jihoon, panggilannya justru disahuti oleh dengking cerek dari dapur.
Setelah menaruh tas, melepas jas dan dasi, suara melengking itu belum berhenti, sehingga Daniel menyimpulkan Jihoon tidak sedang di dapur.
Jadi ia menuju ke sana, dan benar saja. Tidak ada siapapun di dapur.
"Jihoon-ah?" panggilnya lagi setelah selesai mematikan kompor dan mengamati pantry yang tidak kosong.
Ada beberapa bahan makanan yang tergeletak di pantry, termasuk bawang bombay yang tampak belum selesai dipotong di atas talenan. Selain itu, Jihoon ternyata juga sudah memanaskan margarin di atas teflon, tapi baru setengahnya saja yang meleleh, dan permukaan teflonnya pun sudah mendingin lagi.
Sepertinya kegiatan di sini berhenti secara tiba-tiba karena hal lain yang lebih mendesak.
Daniel mulai keheranan, apalagi karena kembali tidak ada sahutan untuk panggilannya.
"Apa dia pergi keluar? Padahal sedang hujan," gumam pria itu sambil menggulung lengan baju dan melepas tiga kancing teratas kemejanya.
Ia bermaksud melanjutkan memasak, dan sudah memotong semua bawang bombay yang tersisa, tapi tiba-tiba berhenti lagi.
"Hah, perasaanku tidak enak."
Dengan 'perasaan tidak enak' itu, Daniel akhirnya meninggalkan dapur, mencuci tangan dan kakinya lebih dulu, kemudian memeriksa kamar.
Lagi-lagi intuisinya benar.
Jihoon benar-benar ada di sana, sedang berbaring miring di atas tempat tidur. Dilihat sekali saja Daniel tahu suaminya sedang tidak sehat, jadi ada sedikit percikan panik ketika ia mencoba memanggilnya lagi.
"Oh, sudah pulang," gumam Jihoon yang tidak sengaja terbangun.
"Kau demam," sahut Daniel sembari memasang termometer di telinga Jihoon dan melihat 39.4 sebagai hasilnya.
"Sudah makan?" tanya yang lebih muda setengah sadar, mendahului Daniel yang baru akan menanyakan hal yang sama.
"Harusnya aku yang bertanya," Daniel menyentuh pipi Jihoon yang memerah dengan punggung tangannya, "ada yang sakit?"
"Demam biasa saja," sahut Jihoon pelan sekali.
"Aku pesankan makanan. Setelah makan, kau harus minum obat dan istirahat, ya?"
"Hm..."
Dalam waktu singkat, Daniel sudah memesan bubur hangat dari restoran terdekat melalui telepon. Ia tidak meninggalkan ranjang dan memilih menunggu pesanan datang sambil menemani Jihoon.
"Aku kira kau pergi. Di luar sedang hujan deras," katanya mencoba tidak terlalu khawatir.
"Pengantar makanannya...?"
"Kau khawatir mereka akan kehujanan?" tafsir Daniel setelah mencerna sebentar kalimat tidak sempurna Jihoon, "Mereka akan mengerti. Aku akan minta maaf nanti."
Setelah menyelimuti seluruh tubuh Jihoon yang menggigil, Daniel menangkup sisi wajah pria itu di satu tangan dan berulang-ulang membelai dahi dan pelipisnya lembut dengan ibu jari. Jihoon biasanya akan merasa lebih baik kalau disentuh seperti ini.
"Aku ambilkan minum sebentar, oke?"
"Nanti saja."
"Oh? Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Gestures [NielWink]
FanfictionDitulis kalau ada ide saja, jadi tidak ada tamatnya. [Alternate Universe] Drabbles and oneshots about sweet gestures in Kang Daniel and Park Jihoon relationship. So, well... it's mostly fluff. WARNING: 📍 Shounen-ai/Yaoi/Boys love 📍 Pairing: NielWi...