07. After Rain

101 24 0
                                    

Angin malam rasanya mampu menembus tubuh Jenar yang terbalut sweater rajut berwarna dusty pink. Ditambah lagi ketika dirinya masuk ke dalam minimarket dengan air conditioner yang jumlahnya cukup banyak. Rasanya, ia akan terkena hipotermia jika berlama-lama di dalam sini.

Tangannya bergerak cekatan mengambil keranjang, memilih makanan ringan yang ia inginkan.

Setelah membayar, Jenar buru-buru keluar. Ternyata suhu udara luar lebih hangat ketimbang di dalam. Walau tak menutup kemungkinan, ia akan tetap kedinginan karena angin yang berhembus kencang.

"Kalau tahu sedingin ini, aku gak bakalan keluar dari rumah." Awal September memang cukup dingin, apalagi di malam hari.

Zrash!

"Duh, kok hujan sih?" gadis dengan surai legamnya itu menatap nanar ke arah jalanan yang mulai basah karena air yang menghujam bumi.

Jenar meraba saku celananya, berusaha mencari keberadaan gawai miliknya. Namun, nihil. Jenar menepuk keningnya, ketika ingat ponselnya tertinggal di kamar.

"Ceroboh, ceroboh, ceroboh!" Jenar mengulum bibirnya. Tangannya kanannya bergerak membunyikan sendi-sendi pada jari lentiknya. Sedangkan tangan kirinya, menenteng tote bag yang berisi makanan ringan.

Bibirnya terus merapalkan doa. Berharap hujan akan segera reda. Namun, Tuhan tak berpihak padanya. Desahan kecewa pun keluar dari bibir ranumnya.

Satu jam telah berlalu.

Sedangkan tuan hujan, tak memiliki niat untuk berhenti. Mata Jenar mulai berkaca-kaca, ia takut jika hujan terus berlanjut. Ditambah lagi, jalanan yang mulai sepi. Harapannya, hanya pada penjaga kasir yang setia duduk lesehan di bawah meja kasir.

'Semoga, penjaga kasir itu tidak pulang cepat.'

Tiin!

Suara klakson mobil memekakkan telinga milik gadis dengan rambut yang digerai bebas. Dahinya berkerut, menandakan dirinya terganggu dengan suara bising dari mobil berwarna hitam di hadapannya.

Tin! Tin!

Sialan. Jenar terus mengumpati sopir yang memberhentikan mobilnya didepan minimarket-- namun tak berniat untuk turun. Itu membuatnya takut. Spekulasi buruk pun sudah terbentuk di dalam otaknya.

Hingga kaca mobil di turun, Jenar menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas, siapa pengemudi yang membunyikan klaksonnya dengan nyalang.

***

"Lo ngapain keluar jam segini?" Jenar menunduk. Ia menggigit pipi bagian dalamnya.

"Kenapa gak minta anterin Jeno?" Pemuda berkaos hitam itu fokus menyetir, namun bibirnya tak berhenti untuk berbicara.

"Kalau ada yang nyulik lo, gimana, Cil?" Jenar mengangkat kepalanya. Menatap Haechan yang masih gencar menasehati dirinya.

"Lo juga kebiasaan nggak bawa hape." Jenar menghela nafas. Kenapa seniornya yang satu ini tiba-tiba bersikap aneh padanya?

"Lo tau ini jam berapa?" yang ditanya hanya menggeleng pelan. Dengan pandangan terpaku pada ujung sepatunya.

Tanpa aba-aba, Haechan melempar ponselnya pada pangkuan Jenar.

Layar persegi itu langsung menampilkan waktu terkini, dan hal tersebut mampu membuat Jenar terkejut.

10:17 PM

"Sekalian, bilang sama Jeno kalau lo udah sama gue." Jenar menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Takut." cicitnya. Lihatlah, Jenar nampak seperti tikus yang tengah terjepit.

NotebookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang