epilog

146 7 4
                                    

Di sanatorium dengan hilir mudik pasien dan perawat, Nadin berjalan-jalan di taman. Dengan selang infus yang lagi-lagi tertempel di punggung tangannya. Ia berulang kali mengembuskan napas dan duduk di salah satu bangku.

"Astaga capek." gumamnya.

Ia menatap sekeliling lalu kembali ke tabung infus yang dibawanya.

"Kenapa, coba, gue harus ketemu sama lo lagi?" seperti orang sinting, ia mengajak bicara tabung infus yang tidak pernah menampilkan reaksi apa-apa selain meneteskan cairan.

Embusan napasnya berbaur dengan udara siang yang tidak terlalu terik. "Mungkin emang gue ditakdirkan buat jadi temen lo, ya? Makasih, loh, udah mau nemenin hampir lima tahun terakhir." ia tersenyum.

Pandangannya ia lempar ke langit dengan kapas putih yang abstrak namun tetap menawan. Pikirannya terhenti pada memori hari kemarin, Aksa yang mengetahui tentang penyakitnya. Di mana ia sekarang? Apa ia masih marah dengan Nadin? Apa ia tidak akan menemui Nadin lagi.

Seberkas rasa sedih menyergap dirinya. Namun sekali lagi ia yakinkan bahwa ... meskipun Aksa menemuinya hari ini, bukan berarti ia akan melihat raganya selamanya. Nadin tersenyum masam. "Yah, kita nggak tau kapan waktu berhenti."

Ia hampir beranjak sebelum lengannya kembali ditahan seseorang.

"Nad,"

"Aksa?"

"Maafin gue, ya?"

Nadin bungkam.

"Nad?"

"Iya, nggak apa-apa."

"Gue cuma sedih aja, dibalik binar-binar cahaya yang ada dalam diri lo ternyata lo juga sedang berjuang."

"Gue oke, kok."

"Lo selalu ngomong begitu, padahal kenyataannya sebaliknya. Plis, Nad. Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri."

Nadin hanya terdiam sambil mengayunkan kedua kakinya.

"Btw, lo tinggal di sanatorium?" tanya cowok itu lagi.

"Untuk beberapa tahun terakhir, sih ... iya. Soalnya, penyakit gue nggak bisa disembuhin, 'kan?"

"Kemungkinannya besar, kok, kalo lo mau kemoterapi di stadium awal."

"Gue cuma nggak mau rambut gue rontok." ia tersenyum masam.

Lagi, pening itu kembali menghampirinya. Raga yang lemas tidak absen menyergap tubuhnya. Sebelum ia keburu ambruk, Nadin pamit kepada Aksa dengan beralasan waktunya diperiksa dokter.

"Besok kita makan mi pangsit, ya! Beneran, ya!" teriak Nadin sebelum langkahnya menjauh dan menghilang.

Aksa tersenyum tipis dan mengangguk. Besok, semoga.

.
.
.

Aksa melangkah menuju sanatorium namun pandangannya terhenti pada Klea, sahabat Nadin, yang termenung sendirian di salah satu bangku taman sanatorium. Ia menghampirinya, menanyakan di mana Nadin karena pesan singkatnya belum juga dibalas.

Klea hanya membisu sambil menatap wajahnya. Gadis itu menyerahkan selembar kertas lalu menepuk bahu Aksa sebelum melangkah pergi.

Degupan jantungnya tidak teratur. Merasa ada yang tidak beres, cowok itu langsung berlari memasuki sanatorium dan bertanya pada petugas di mana kamar Nadin Anggitania. Ia berlari menaiki tangga lalu berbelok ke kiri. Menemukan salah satu kamar dengan pintu yang tertempel potret dirinya dalam bentuk polaroid.

Pintu itu tertutup, ia hendak membuka kenopnya tapi lengannya ditahan salah satu dokter.

"Maaf, pasien sedang kritis. Kita tunggu saja,"

Aksa menatap melalui kaca kecil di pintu itu. Benar, Nadin terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya, sebuah monitor yang menunjukkan degup jantungnya juga tidak lepas dari jarak pandang Aksa. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun terakhir, pelupuknya berair, dan hatinya serasa diremukkan dan lantas kepingannya berserakan.

Ia menahan napas, lalu berbalik menuju taman sanatorium dan duduk di salah satu bangkunya. Netranya menatap pada selembar kertas yang diberikan Klea tadi. Dibukanya lipatan kertas itu dan mulai membaca satu persatu huruf yang ditorehkan dengan pena hitam.

Untuk Aksara Bagaskara,

Hai, Sa. Maaf ya kalo misalkan gue keras kepala. Gue cuma nggak mau orang lain khawatir aja. Maaf juga kalo tempo hari gue marah sama lo, padahal harusnya elo yang marah sama gue. Aneh, ya? Gue cuma mau bilang makasih buat segala kebaikan yang menguar dari diri lo, buat gue. Semua kehangatan yang berpendar saat mendung meliputi gue dan semesta. Makasih, dan maaf.

Ehm, gue bingung nih mau ngomong apa lagi. Lo tau sendiri kan otak gue lemotnya kayak apa. Pokoknya, intinya maaf sama makaaasiiihhh buat semua kebaikan lo sama gue. Gue nggak tahu harus bales kayak gimana lagi. Udah, ya, Sa. Pegel tangan gue.

Sialan, darahnya keluar lagi. Sori, Sa, kalo inih surat ada bercak darahnya. Mau ganti kertas tapi males nulis dari awal lagi, ehehehe:D

See you, Aksa.
Salam hangat, Nadin.

Kertas yang sudah tertumpah beberapa tetes cairan merah itu sekarang juga basah terkena air mata dari sang pembaca. Entah, mungkin langit juga kehilangan sinarnya hari ini.

Dan mungkin ... mentari ikut membenamkan wajahnya di balik awan. Aksa terdiam di duduknya sampai pada milisekon kemudian bahunya ditepuk seseorang.

Klea.

Terdiam dan menuntun Aksa masuk ke sanatorium, menuntunnya ke kamar Nadin Anggitania.

Suasana di sana tenang, beberapa orang mengelilingi ranjang dan Nadin yang terbaring di atasnya.

"Lo udah baca surat dari Nadin, Sa?"

"Udah."

"Nadin bilang ... itu ucapan pamitnya karena nggak bisa makan mi pangsit bareng lo lagi," suara gadis itu bergetar memandangi sang sahabat yang raganya sudah membiru kaku.

Tangis Aksa tidak bisa ditahan lagi, cowok itu hanya memandangi tubuh Nadin yang sudah terpisah dari jiwanya.

"Nak Aksa, Nadin sudah ke tempat lain ..." ujar ibu Nadin.

Aksa terduduk lemas, dalam hati ia berdoa supaya Nadin kembali. Namun, apapun yang sudah berniat untuk pergi tidak akan memutar arahnya untuk kembali. Di sana, cowok itu terdiam dengan air terjun di pipinya. Memutar kilas balik saat-saat bersama Nadin, meski gadis itu sudah pergi ... Aksa tetap berharap mereka bertemu lagi.

Sekarang Aksa mengerti, seberapa sakitnya saat tidak sengaja ditinggal pergi.

Sesaat, matanya seperti merekam Nadin meski samar-samar. Nadin seperti tersenyum ke arahnya, teduh sekali, dan binar-binar pada diri gadis itu semakin bersinar seratus kali lipat. Aksa ikut tersenyum, ia tau, Nadin sudah pergi ke tempat paling indah.

Selamat jalan, Nad ... sekarang lo nggak perlu berjuang melawan rasa sakit lagi. Meski gue nyesel, belum bisa ngajak elo makan mi pangsit kesukaan lo. Dan maaf ... ada rasa sayang yang belum pernah gue sampaikan ...

- end -

a/n
udah tamat guys ... maaf ya kalo banyak kurangnya, atau cerita ini nggak nyambung. semoga masih bisa kalian nikmati. makasih buat yang udah ngikutin dan meninggalkan jejak di cerita ini sampai ending ... ily3k

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang