"Swani." Agata bergumam memanggil Swani dengan suara rendah. "Kenapa mereka memperhatikan kita?"
"Abaikan saja." Ucap Swani sambil berbelok kiri ke sebuah rumah tua dengan atap tembikar dan dinding bambu yang terletak paling ujung diantara para penduduk lainnya.
Langkahnya berhenti di sana dan iapun mengetuk pintu, "Mbaaah. Iki Swani. (Ini Swani)"
Tak lama seorang wanita tua datang menghampiri dan tersenyum sumringah melihat Swani pulang. Namun saat matanya melihat Agata, raut wajahnya berubah menjadi terkejut. Ia menatap Agata dengan dahi berkerut, seolah mempertanyakan siapa sebenarnya gadis yang datang bersama cucunya.
Tak lama setelah itu, Agata menghampiri nenek Swani dan memberikan salam. Namun wanita tua itu mengabaikan Agata kemudian mendatangi Swani. Agata memperhatikan perbincangan keduanya melalui ambang pintu. Ia merasa sedikit canggung dan sungkan sebab neneknya tampak tidak menyukai Agata.
Swani berjalan ke arah Agata di ambang pintu setelah ia selesai bicara dengan neneknya. Ia memperhatikan nenek Swani yang tampak khawatir lalu beralih ke Swani yang kini sudah dihadapannya.
"Ayo masuk." Swani menenteng ransel Agata ke dalam rumah. "Maaf ya. Nenekku tidak terlalu ramah padamu."
Agata mengangguk menunjukan bahwa ia sebenarnya paham.
"Ini kamar kita." Swani menunjukan sebuah bilik sederhana. Sebuah amben tanpa tilam melainkan tikar dan sebuah meja berukuran sedang dengan lampu semprong di atasnya yang dipadu dengan cermin dinding di dekat meja.
"Agata kamu boleh istirahat." Saran Swani sebelum meninggalkan kamar, "Aku mau ketemu mbah dulu."
Agata tersenyum dan mengangguk. Rasanya ia sedang mengenggam dua dunia yang berbeda dalam satu waktu. Bagaimana mungkin ia bisa kembali pada Yogyakarta era Mataram. Saat sejarah mengatakan mereka sibuk berperang, namun tempat ini terasa damai tentram. Swani benar soal jalan pintas, tapi jalan pintas justru mengundang kegaduhan. Ia sendiri juga tidak paham mengapa Swani mendengarnya berbahasa Jawa, sedangkan ia sendiri tak pandai berbahasa Jawa.
Rasanya Agata kelelahan karena perjalanan menggunakan kedua kaki dari pusat kota Gede ke desa Pajejaran tempat nenek Agata memakan waktu yang tidak sebentar. Lalu hal yang paling tidak nyaman ialah sepanjang perjalanan seluruh mata memandang mereka seolah mereka adalah orang bersalah yang harus dijauhi. Padahal di pintu masuk semua orang sudah tahu kalau kota Gede adalah pintu pertukaran manusia dan makhluk Lima Kingdom. Mereka juga sudah mengganti pakaian di pusat administrasi orang asing, terkhusunya pelajar. Melihat bahwa Jawa sangat menghormati leluhur dan mencintai budayanya, rasanya semua orang berpola sama disini. Kecuali mereka yang baru tiba biasanya menunjukan perilaku aslinya.
-PRANGGG-
Agata mendengar suara pecah dari dapur, segera ia beranjak dari kamar. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika mendengar Swani berteriak. Agata tidak terlalu mengerti, namun rasanya tidak baik mencampuri urusan pribadi.
"Ojo ngelarang aku, Mbah! (Jangan melarang aku, mbah!)"
Agata mendengar suara isak tangis Swani yang menggema diantara sekat-sekat dinding bambu yang hampir di telan masa.
"Aku iki Ratuning Wengi to, mbah? Kabeh wong ngerti nak aku bakal dadi kagungane Sultan. (Aku ini Ratu Malam kan, Mbah? Semua orang tahu kalau aku akan menjadi simpanan para Sultan)"
Suara Swani semakin tinggi, namun suara itu terasa berganda di telinga Agata. Membuat hatinya merasa perih seolah Swani mampu menyalurkan rasa sakit lewat udara malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agata Dara dan Skandal Wijaya Kusuma
ФэнтезиMenjadi teman sekaligus tetangga Swani Danardaru membuat Agata ingin lebih banyak tahu soal perempuan yang gila melukis itu. Setelah memergokinya menemui Wakil Kepala Satu di fakultasnya. Ia menemukan perilaku Swani yang aneh. Agata pun menaruh curi...