27. Heart Skip a Beat

412 63 41
                                    

Sebuah sungai yang hidup mengalir dengan deras dari balik pohon cemara lebat bak tirai hijau pekat. Suara gemuruh yang sebelumnya kudengar ternyata berasal dari suara aliran derasnya air menghantam bebatuan di tengah dan tepi sungai melewati pepohonan, bergelembung dan berbuih ketika berkejaran di bawah jembatan kayu sebelum terjun bebas dari arus horisontal menjadi arus vertikal. Arus air itu jatuh layaknya tirai tebal di iringi raungan putih yang memekakkan telinga menjadi kolam gelap di bawah.

Aku dan Gavin antusias berjalan ke jembatan yang nampak sudah tua namun tetap kokoh itu dengan saling berpegangan tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Gavin antusias berjalan ke jembatan yang nampak sudah tua namun tetap kokoh itu dengan saling berpegangan tangan. Kami menumpu tangan dan berpegangan pada susuran jembatan, menunduk ke jurang tempat air jatuh dan berpusar.

Udara terasa begitu renyah di sini, seakan hampir bisa kusentuh. Cipratan berupa embun dari riak-riak air menerpa pipiku. Segar sekali.

Hening antara aku dan Gavin hanya suara gemuruh air yang bersahutan dengan suara gesekan dedaunan dari hutan di sisi lain sungai yang terterpa angin. Aku dan Gavin larut dalam pikiran masing-masing. Sebenarnya aku tidak memikirkan apa-apa, aku hanya menatap kosong pada gelembung dan buih-buih air yang berpusar. Suara alam ini seperti suara pelentang yang biasa kudengar di sanggar yoga langgananku yang kudatangi setiap sabtu sore setelah pulang bekerja bersama Riska, temanku.

Aku duduk bersila, memejamkan mata, pose Yoga paling umum. Mengosongkan pikiran dan menyatu dengan alam.

Kurasa cukup lama aku dalam posisi begitu, sampai akhirnya Gavin berbisik di telingaku. "Sudah selesai?" bisikannya seperti angin musim dingin di kutub Utara, membuatku merinding.

Aku membuka mata perlahan dan menghadap kesamping, wajah Gavin berada dekat sekali dengan wajahku, aku bahkan bisa merasakan nafasnya di pipiku.

Lagi. Aku terjebak dalam tatapan mata hitamnya yang memukau.

Ada suatu hasrat yang sangat dalam yang ingin sekelai kukeluarkan saat itu. Tapi, tidak, itu tidak boleh. Sama sekali.

Aku memalingkan wajah, menggeleng, berusaha mengubur dalam-dalam harsat yang kurasakan. Dia berdiri sesaat setelah aku memalingkan wajah. Dia mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan untukku berdiri. Aku sambut tangan itu. Dan berdiri di sisinya.

Kami memutuskan untuk kembali ke kabin sebentar sebelum nanti sore berjalan-jalan di alun-alun Interlaken.

***

Kabin kayu yang di sewa Gavin tidak terlalu besar, namun cukup. Ada dua kamar yang sudah di lengkapi dengan kamar mandi masing-masing. Di ruang tengah terdapat sofa berwarna broken white dengan beberapa tumpukan selimut rajutan yg kelihatan hangat. Sofa itu di letakan berhadapan dengan perapian. Ada meja kopi yang berbentuk persegi di depan sofa tersebut. Pot kecil bunga edelweis menghiasi meja. Sebagai informasi, bunga edelweis banyak tumbuh di kawasan pegunungan Swiss dan Austria, dan menjadi bunga nasional dua negara tersebut.

Pada bagian dapur terdapat rak-rak dapur yang tersusun di bawah dan menggantung berwarna kayu, ada meja makan cukup besar dengan enam kursi yang juga berwarna kayu, perabot yang lain juga kebanyakan berwarna kayu, menyiratkan kesan hangat dan tradisional pada bagian dalam bangunan ini. Kesan moderen juga nampak dari kabin ini, itu di tandai dengan adanya TV layar datar yang menggantung di atas tunggu perapian, kulkas besar dua pintu di dapur, juga penghangat ruangan elektrik pada bagian kamar dan keran air hangat pada kamar mandi.

A Month to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang