Cuwak Mengan

3.3K 311 28
                                    

Adzan berkumandang, memaksa Risel untuk membuka mata. Tangannya mengucek mata, menyipit melihat jam di atas nakas. Ternyata perjalanan kemarin membuatnya lelap tidur. Oh, bukan. Itu karena semalam dia menangis sampai larut malam. Makanya, bangun tidak seawal biasanya.

Dilihatnya Ibunya tengah melepas gulungan lengan baju tidur. Ujung lengan bajunya basah terkena air wudhu. Tangan kirinya menyisipkan anak rambut yang hampir mengenai mata. “Ayah ke masjid ya?” Siti mengangguk, lalu masuk dalam kamar kecil untuk menunaikan shalat.

Risel memilih shalat di kamar, lebih khusyu’ katanya. Selesai melipat bawahan mukena, ia melirik Alfath yang tertidur nyenyak. Bocah itu terlalu aktif, ke-asyik-an main dengan teman baru—tetangga kanan rumah. Diusapnya puncak kepala Alfath, bibir Risel langsung tersenyum kecut begitu melihat wajah Alfath yang mirip dengan Abid.

Ia langsung ke dapur, berniat untuk membuat sarapan. Tapi ternyata sudah keduluan Siti. Perempuan paruh baya itu sedang mengaduk adonan tepung untuk tempe goreng. Di sampingnya, wajan yang nangkring di kompor terisi cah kangkung dengan irisan cabai merah yang menggoda. Risel mendekat, menampakkan  senyum seringai. “Sini, Risel yang goreng tempe. Ibu terlalu gesit sampai aku ketinggalan,” Siti tertawa kecil, menyerahkan sendok pengaduk pada Risel.

Selesai dengan aksi menggoreng tempe, ia beralih menata makanan di atas meja makan dengan apik. Siti mengulurkan nampan berisi empat gelas, membuat Risel merasa ganjal. Bukankah yang akan sarapan hanya tiga orang?

“Wah, sarapan pakai makanan dari Chef Risel,” celetuk Herman sambil bertepuk tangan. Risel menengok, tapi tatapannya berhenti ke satu objek. Tangannya dingin, detak jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Matanya menyipit, menginterogasi kedatangan orang itu.

“Apa? Risel Cuma goreng tempe, keluar kamar lama banget. Dia di rumah suka telat nggak masaknya, Bid?” Siti ikut menimpali. Yang diajak bicara hanya tertawa kecil, mendekat pada Risel lalu merangkul bahu. “Risel selalu tepat waktu,” katanya.

Risel langsung menyadarkan dirinya. Cepat-cepat ia mengambilkan nasi untuk Abid. Bukan karena apa, dia hanya tak ingin orang tuanya menyadari masalah antara dia dan Abid.

“Risel  semalam capek banget ya? Sampai diketuk berapa kali nggak ada sahutan. Akhirnya Abid ngalah, tidur di ruang tamu.” Risel menatap Siti yang berbicara dengan mimik serius. “Jam berapa, Bu?”

“Jam 2,” Abid menjawab.

“MasyaAllah Si Abid ini, Nak. Tanggung jawab dia, langsung nyusul kamu.” Risel hanya tertawa sumbang.

***

Lampu ruangan ini sangat terang. Yang biasa hanya dipasang satu, kini ada dua lampu yang terpasang. Selain terang benderang, ruang ini sumpek dengan suara. Semua asyik mengobrol, mengobati rindu antar kerabat.

Malam ini mereka datang memenuhi undangan untuk cuwak mengan. Sebuah acara yang biasanya diadakan dua hari sebelum hari pernikahan. Tapi kali ini Datuk sengaja mengundang untuk acara syukuran. Memberi simbol syukur atas kepulangan dari Umroh.

Semua menjadi diam ketika tuan rumah sekaligus ketua adat membuka acara. Dilanjut dengan sambutan menggunakan Dialek Lampung. Risel mengikuti acara, tapi tak paham apa yang dibicarakan. Pasalnya, pikirannya melayang entah kemana saat ini.

“Eh?” Siti menyikut lengan Risel, membuat Risel gelagapan karena kaget. Ditatapnya lelaki tak asing di depannya. Dengan senyum khasnya, menampakkan gigi gingsul di sebelah kanan.

“Ngelamun aja? Ketemu di sini ternyata kita,” katanya.

“Eh, iya. Bian kamu kok ada di sini?”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang