Prolog

18 2 0
                                    

   Kota itu runtuh. Puing-puing bangunan berceceran keudara melawan arah gravitasi kita. Para penduduk terluka, bahkan banyak yang binasa. Kota tenang tercinta ini, sekejap berubah menjadi arena pertarungan.

Lima orang itu hanya berdiri menatap satu sama lain. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara angin yang mendampingi mereka. Hening.

Salah satu di antara mereka mulai berkata.

"Apa pun.... yang terjadi nantinya.... siapa pun... yang tersisa.... tetaplah menjalani hidup kalian dengan baik." Orang itu berkata. Gerombolan manusia serigala mengaum-aum di belakangnya, penuh luka dan semangat hendak mencabik-cabik mangsanya.

"Jangan bicara seakan kamu akan menyerah duluan." Seseorang diantaranya berseru, pasukan yang ada di belakangnya  adalah anak-anak setengah dewa yang membawa busur dan pedang. Berpakaian Romawi kuno.

Kelima orang yang memimpin pasukan masing-masing masih menatap satu sama lain. Engan untuk menyerang duluan.

"Apa..... kita gak bisa? Merubah takdir?" Dia yang memimpin para penghisap darah berusaha menahan tangisnya. Agar tak di lihat oleh para pengikutnya.

"Kalau memang bisa, udah aku lakukan dari dulu. Jangan terlalu berharap!" Gadis dengan sabit berkata ketus. Sabitnya seakan siap membelah dua orang-orang disana.

Satu diantara mereka hanya diam. Dia dan pasukannya tak banyak bicara dan bergerak, mendengarkan debat keempat orang itu. Kesatria berzirah besi itu maju seraya mengangkat pedangnya.

"Kita akhiri semuanya dengan perang ini!!!!!" Teriaknya, semua kubu maju menyerang satu sama lain. Membuat hujan darah di kota runtuh itu.

Sampai hanya satu orang pemimpin yang bertahan, perang akan tetap berlangsung sampai titik darah penghabisan.

Rahasia Lima Saudara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang