"Maafkan aku, aku tidak bisa melindunginya." Hinata mendengar sebuah suara yang berat dipenuhi dengan nada rendah memenuhi ruangan.
"Sudahlah. Dan untukmu, aku sampaikan banyak terima kasih. Aku tidak pernah berpikir bahwa seorang gadis sepertimu bisa mempertaruhlan hidupnya demi kami." Kali ini, suaranya lebih tenang dan mengandung kesan wibawa dan diskriminasi seorang pimpinan yang tidak bisa dibantah.
"Tentu, Tuan." Satu suara lagi. Kali ini, itu terdengar jernih dan sedikit cempreng seperti gadis remaja.
Hinata mengernyit. Dia bisa mendengar suara-suara itu, walaupun agak sedikit terdistorsi karena kepalanya sakit, tapi dia jelas tidak bisa melihat rupa mereka. Hinata tidak tahu di mana dia berada, rasanya seperti berada di sebuah studio sempit bercat putih tanpa apa pun, hanya ada Hinata di sana, dan warna putih menyilaukan, yang semakin lama semakin menyilaukan.
Saat Hinata berhasil membuka matanya cahaya lampu yang tergantung tinggi di langit-langit adalah hal pertama yang menyapanya. Lampunya agak sedikit redup, tapi itu cukup untuk menyinari seluruh ruangan, nyaris seperti lampu tidur, tapi dengan setelan yang lebih tinggi. Walaupun begitu, mata Hinata tetap merasa silau, tapi dia juga tidak bisa mengangkat tangannya untuk menahan cahaya lampu. Sesuatu terasa seperti memakunya ke tempatnya berada.
Beberapa detik berada dalam masa penyesuaian, Hinata akhirnya mampu melihat sekelilingnya dengan jelas. Dia sedang berbaring, di atas ranjang satu sisi dengan sprei warna biru langit yang lembut dan putih tulang. Tangannya ditusuk jarum dan ada selang infus yang mengalir dengan pelan. Di tembok, ada sebuah televisi hitam besar, dan ada tiga orang yang duduk dengan ekspresi lelah di sofa cokelat terusan yang menempel di tembok.
Bahkan, tanpa bertanya pun, Hinata tahu ini adalah rumah sakit, atau sesuatu semacam itu. Perlahan, ingatannya melayang ke kejadian buruk yang seolah baru saja terjadi padanya.
Hal terakhir yang dia ingat adalah saat melihat wajah Sasuke yang jatuh berdebum ke lantai dapur yang keras dan darah merah segar mengalir dengan deras dari bahu dan perutnya, menciptakan genangan darah yang menyeramkan di sekelilingnya. Kemeja yang Sasuke kenakan berwarna pucat, jadi darah dengan cepat merembesi kainnya.
Hinata pikir, kepalanya terasa kosong dan hatinya tidak bisa merasakan apa-apa, seperti ada sesuatu hal aneh yang secara mengejutkan menghilang.
Ya, Sasuke mungkin mendengar teriakan Hinata, jadi dia segera ke dapur, tapi seseorang—ah, sekelompok orang—yang menyerang mereka tampaknya melukainya di mana pun mereka bisa menciptakan genangan darah. Pada waktu itu, Sakura, yang telah dia anggap sebagai saudaranya sendiri, menggencetnya dan menyakitinya, dan berada dalam posisi semcam itu untuk melihat Papanya pingsan, ah meregang nyawa, mungkin, membuat mata Hinata menyusut.
Hatinya terasa kosong, tapi juga sakit, seperti sebuah gelas kaca rapuh yang kosong yang tiba-tiba diisi dengan air mendidih, dan retak begitu saja. Retak dan hancur. Rasanya seperti itu, seperti hatinya rusak.
Pada waktu itu, wajah Sasuke tampak tenang dan dia hanya sedikit mengernyit, tapi Hinata tahu betapa sakit itu sebenarnya. Melihat orang yang paling dekat dengannya di dunia ini, orang yang paling ingin Hinata lihat untuk tersenyum seperti pagi tadi, tersakiti dan menumpahkan darah hanya karena—mungkin—ingin menyeamatkannya, Hinata pikir dia rela dikuliti hidup-hidup daripada melihat orang itu terluka. Papa adalah segalanya baginya. Tidak peduli bahwa dia orang yang ceroboh, sering terpeleset bahkan di tempat lurus yang kasar, atau sering melukai jarinya sendiri saat memasak, dia masih tetap segalanya bagi Hinata. Jika dia terluka, Hinata lebih baik merasakan luka yang lebih besar daripada itu.
Hinata mungkin adalah seorang Papacon[1], kenyataannya dia mengembangkan perasaan yang lebih besar kepada papanya. Bagi Hinata, Papa adalah Papa, sekaligus sahabatnya tenpat dia bisa mencurahkan segalanya, sekaligus kekasihnya tempatnya bisa mendapat dan memberikan limpahan cinta. Hinata tidak pernah merasa bahwa dia begitu menyayangi orang sebegitu dalamnya sampai dia pikir dia rela menanggung semua bebannya. Ini tingkat yang berbeda dalam kasih sayang ayah-anak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Shot For The Forgetful Guardian {END}
Fanfiction|FANFICTION STORY| Judul : Shot for The Forgetful Guardian Judul Alternatif: Shot Genre : Action, Drama, Friendship, Slice of Life Aired : May, 2019 Republish : May, 2020 Length : Prolog + 19 chapters + Epilog Status : Completed •Spoiler• Shot for h...