Teruntuk Kino, maaf.
Maaf karena akhirnya aku menyadari, aku sebentar lagi mungkin akan merusak persahabatan yang telah kita jalin sejak kita bahkan belum mengerti tentang kehidupan.
Maaf, karena akhirnya aku menyadari bahwa aku menyukaimu.
🏵🏵🏵
Semenjak hari itu, hari dimana aku menangis sejadi jadinya dalam pelukanmu, jantungku terasa tidak bisa berhenti berdetak kencang jika berada didekatmu.
Hari itu adalah hari terburuk yang pernah aku lalui, lebih buruk dari pada sebelumnya disaat aku terbiasa mendengar kedua orang tuaku bertengkar. Ya, kedua orang tuaku sering bertengkar. Bahkan tak jarang aku merasakan hampa kala kedua orang tuaku memilih untuk tidak pulang dalam jangka waktu yang lama.
Dan disaat itu tiba, Kino bagaikan tangan yang menutup telinga dan mataku agar aku seakan tidak tahu apa yang terjadi pada keluargaku.
Dia memberikan warna lebih dalam hidupku. Dia menerbitkan matahari untuk hatiku yang terus didera hujan lebat maupun guntur legam.
Tadinya aku tidak khawatir saat kedua orang tuaku berada dirumah dalam waktu bersamaan dan menciptakan keributan diantara kesepian yang sudah ada dan terbiasa menemaniku. Karena aku tahu, dikala itu tiba pasti akan ada seseorang yang hadir menemaniku walau hatiku tetap terluka.
Tapi.
Hari itu akhirnya tiba.
Hari dimana kedua orang tuaku bertengkar hebat dan akhirnya mengucapkan kata pisah.
Selesai.
Walau aku terlihat masa bodo akan mereka, tapi hatiku remuk saat mendengar dengan kedua telingaku sendiri bahwa mereka akan berpisah. Seakan tak memperdulikan aku sebagai buah hati mereka.
Bahkan tak ada satupun diantara mereka yang menghampiriku yang tengah menangis dikamar sampai ingin mati rasanya. Mereka malah sibuk mengemas barang masing masing dan pergi meninggalkan rumah.
Hey? Tidakkah kalian ingat aku? Satu satunya putri kalian. Yang tercipta atas dasar sebuah pernikahan yang sah diantara kalian.
Sudahlah, aku lelah mengingat hal itu. Yang aku ingat setelahnya, Kino datang ke rumahku dan menemaniku tanpa suara. Ya, dia hanya mendengarkan aku menangis sekencang mungkin sambil mendekapku.
Bukan tanpa arti perbuatannya itu, dia tahu hal terpenting yang aku butuhkan kini hanyalah kasih sayang. Atau apalah itu, Kino tahu aku tidak butuh kata "Sudah jangan nangis" atau "Kamu baik baik saja sekarang?". Kino tahu itu.
Terbukti, setelah malam itu berlalu. Aku bisa mulai merelakan kedua orang tuaku yang akhirnya resmi bercerai. Sebenarnya hak asuh terhadapku didapatkan Ayahku, namun aku belum tahu kapan aku akan menyusulnya. Toh, bersamanya atau bersama Ibu akan sama saja. Mereka tidak memaksaku untuk ikut sana atau sini, itu hanyalah diatas kertas saja.
Akupun tidak perduli dan tidak mau memikirkannya. Karena sejujurnya, sekarang ada hal lain yang terus aku pikirkan.
Kino.
Maaf aku terdengar sangat mengobsesikannya, tapi jujur aku merasa aneh mulai saat itu. Karena saat dekapan hangatnya menjadi milikku, aku merasa tidak ingin dia pergi. Aku hanya ingin dia, aku bahkan menyukai debaran jantungku yang tak karuan saat menangis dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Ini Rasanya✔️
Short StorySebuah narasi panjang tentang aku yang bercerita. Bercerita bagaimana rasanya menyukai sahabat sendiri. ___ ©copy right Sabrina Mei 2020