❌Shinkensu seinen-dan❌

1K 93 16
                                    

Daerah istimewa Djogjakarta, Agustus, 1943

'BRUG!'

'BRUG!'

'BRUG!'

Suara sepatu boot anggota seinendan menggema di lapangan pelatihan daerah Yogyakarta. Debu beterbangan seiring dengan langkah tegap pasukan seinendan. Mereka sedang berlatih PBB (pasukan baris berbaris), tak kenal terik maupun hujan.

Barisan seinendan berisi puluhan lelaki pribumi. Organisasi semi militer bentukan Jepang untuk membantu dalam perang menghadapi sekutu. Berkedok mendidik dan melatih para pemuda agar dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Mereka sedang berlatih dibawah pimpinan Letnan muda Nakamura Yamada Hiro putra dari kolonel Nakamura Hikaru, yang menugaskan putra semata wayangnya untuk melatih mereka.

"Balik kanan bubar jalan!!" Ucap Letnan pangkat dua itu dengan tegas penuh kharisma.

"Siap laksanakan!!" Jawab pasukan itu serentak.

Yamada Hiro menyeka peluhnya yang bercucuran. Siang itu udara kota Djogjakarta sangat terik, membuat kulit kuning pucatnya kemerahan tersengat panas matahari. Yamada Hiro bertubuh tinggi tegap tak seperti tentara Nippon kebanyakan yang memiliki tubuh pendek. Rambut hitam legamnya disisir rapi ke belakang ditambah gel agar terlihat selalu segar. Matanya sangat tajam meskipun sipit seperti orang Jepang kebanyakan. Tatapannya mampu mengintimidasi siapa saja yang sedang di tatapnya.

Letnan muda itu memiliki kharisma tersendiri, pesonanya kuat tak terbantahkan membuat para gadis bertekuk lutut hanya dengan melihat tarikan dari bibir tipisnya. Baik gadis pribumi maupun gadis Jepang mereka tak luput dari pesona seorang letnan Nakamura Yamada Hiro. Rayuan manisnya tak usah diragukan lagi.

"Konichiwa, Yamada Chui!" (selamat siang letnan) salah satu bawahannya memberi hormat.

Pria itu menatap sang bawahan, tersenyum formal. "Selamat siang, ada apa kapten Yoshida?"

"Kolonel Nakamura Hikaru memanggil letnan untuk segera menghadap beliau." Jawab kapten Yoshida menyampaikan pesan atasannya.

"Baiklah, katakan kepada beliau aku akan menemuinya seusai latihan nanti."
 


"otossan" (ayah)

"Ah.. hiro akhirnya kau datang juga" jawab kolonel Nakamura Hikaru mendapati putranya. Wajah tuanya semringah setelah sekian lama menunggu dilanda bosan.

"Ada apa ayah memanggilku kemari?" Kolonel Nakamura tampak berpikir sejenak.

"Hiro, ayah akan mengirim beberapa pasukan dari wilayah ini ke Batavia, karena itu kau harus ikut memimpin ke sana. Besok pagi
berangkatlah bersama kapten Yoshida juga. Bagaimana hiro-san?" Jawab sang ayah.

"Baiklah yah tidak jadi masalah." Nakamura Hiro hanya mengiyakan saja perintah ayahnya.

Rumah megah khas bangunan Belanda berdiri di tengah kota Djogjakarta, rumah yang dulunya ditinggali oleh keluarga petinggi Belanda,namun setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang,kini rumah itu menjadi tempat tinggal keluarga kolonel Nakamura Hikaru, seorang petinggi kempetai dai Nippon.

Nakamura Ayumi terlihat sedang sibuk membereskan perlengkapan putranya yang akan berangkat ke Batavia esok pagi. Wanita itu sebenarnya tak ingin jauh dari putra semata wayangnya, namun apa boleh buat, tugas negara membuat sang putra harus memenuhinya.

Nakamura Ayumi adalah istri dari kolonel Nakamura Hikaru, mereka pindah ke Indonesia sejak tahun 1942. Ayumi, meski usianya tak lagi muda namun pesonanya masih terlihat diantara guratan keriput yang mulai menghiasi wajahnya, pesona itu yang kemudian menurun kepada putranya. Kulit kuning pucat dan senyum manis mendominasi penampilan Ayumi yang tak lagi muda. Wanita itu adalah ibu dan istri yang baik bagi keluarga kecilnya yang sangat ia kasihi.

"Sudahlah okassan, tak perlu membawa barang sebanyak ini, aku bukan anak kecil lagi ma!" rengek Yamada Hiro kepada ibunya yang sedang sibuk memasukkan barang barang yang menurutnya tidak perlu.

"Kau ini! Jangan membantah ibumu!" Bu ayumi mulai memelototi putranya dengan galak. Yamada Hiro mencerutkan bibir tipisnya maju beberapa senti, membuat bibir merah itu terlihat menggemaskan. Sang ibu menarik ujung bibir Hiro sehingga membuat putranya mengaduh.

"Awww! Apa yang ibu lakukan? Ibu selalu saja memperlakukan aku seperti anak kecil!" Lelaki jangkung mengusap ngusap bibir merahnya yang terasa sakit akibat ulah sang ibu. Nakamura Ayumi hanya terkekeh melihat putranya yang jengah dengan perlakuannya. Selalu seperti ini.

"Kau ini! Anak lelaki manja sepertimu sok sokan ingin menjadi letnan! Lihat saja nanti jika ayahmu mengirimu ke Medan perang pasti kau akan pulang dan bersembunyi di balik rok ibumu! Hahaha" ayumi tahu betul putranya memiliki sikap manja dibalik tubuh kekarnya. Meskipun Hiro masuk sekolah militer dan kini telah naik pangkat menjadi seorang letnan, tetap saja ia akan bersikap manja jika bersama dengan sang ibu.

"Aghhh ibu ini!!!" Hiro mencubit pipi ibunya dan menghamburkan pelukannya ke dada hangat sang ibu. Siapa sangka? Pria penakluk sejuta wanita ini begitu manja kepada ibunya.

"Benarkan kata ibu? Kau ini manja!" Bu ayumi membalas pelukan putranya dengan senang hati. Mereka menghabiskan waktu bersama sebelum Yamada Hiro berangkat ke Batavia esok pagi.




-kediaman keluarga Brawijaya

"Romo..."

"Ada apa to mas?" Jawab sang ayah sambil menikmati lintingan yang sedang dihisapnya.

*Lintingan adalah rokok zaman dulu yang dibuat sendiri dengan menggulung rajangan memakai kertas rokok (papir) ataupun daun kawung, atau klobot yang didalamnya terdapat tembakau dan sejenisnya.

"Romo, besok saya akan pergi ke Batavia untuk tugas seinendan, mungkin selama beberapa bulan. Bagaimana menurut Romo?" Dhanu Brawijaya bertanya dengan hati hati kepada sang ayah.

"Dengan siapa pergi kesana?"

"Bersama teman teman seinendan yang lain dibawah pimpinan Letnan Nakamura Yamada Hiro, Romo." Lelaki itu menjawab dengan sopan.

"Yasudah le... Pergilah tidak apa apa, hati hati jaga dirimu. Kalau bisa jenguk juga adikmu itu di stovia." Jawab Raden Gusti Adibrata Brawijaya seraya mengembuskan lintingannya dan membuat asap mengepul memenuhi ruangan itu. Adik Dhanu yang memang sedang menghabiskan beberapa tahun menempuh pendidikan di Batavia membuat Dhanu tak terlalu berat meninggalkan tanah ini.

"inggih, matursuwun, Romo." Jawab Dhanu lalu undur diri dari ruang kebesaran romonya. Dhanu mengistirahatkan tubuhnya yang terasa remuk, membaringkannya kepada ranjang empuk yang akan dia tinggalkan untuk beberapa bulan kedepan. Sepertinya diluar sana Dhanu tidak akan merasakan empuknya kasur seperti ini karena akan tidur di asrama dengan tempat tidur bersusun.

Pemuda itu menghembuskan nafasnya kasar, namun tak menyesal dengan keputusannya ikut bergabung menjadi anggota seinendan yang nantinya akan mengabdi kepada negara.














Haiii readers yang budiman 🥰ini adalah karya keduaku.. terimakasih sudah mampir jangan lupa klik bintang kiri bawah🙏

𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝 𝐖𝐚𝐫 𝐥𝐥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang