1O. Arti Rasa Takut

108 21 0
                                    

bukan salahmu jika kamu jatuh cinta, dan bukan salahnya jika dia tidak ingin merasakan yang hal sama.

🌸 Tanya Fajar 🌸




Hanya satu kata yang keluar dari mulut Fajar, namun Tanya bisa mendapati ketulusan darinya. Entah sejak kapan ia sadar kalau Fajar sama sekali berbeda dengan yang dideskripsikan orang-orang.

Fajar pun begitu. Ia yang saat ini menatap lekat Tanya sedang tersenyum. Gadis yang sejak tadi panik karena dirinya, nyatanya bukan sosok yang menyebalkan.

"Papah gue," ucapan Tanya terhenti beberapa saat, ia menyungging senyum yang entah kenapa tak terlihat sebagai senyum. Mungkin, karena ada kepedihan yang tersembunyi di sana.

"Waktu gue kecil, di saat-saat terakhir gue ketemu dia ... selalu pulang dalam keadaan luka. Kaya gini," lanjutnya lirih sambil mengusap pelan luka yang ada di sudut bibir Fajar.

"Dan mamah selalu ngobatin lukanya sambil nangis, kaya gue tadi. Gue yang masih kecil ga ngerti kenapa dia selalu pulang kaya gitu," Fajar menyentuh tangan Tanya, lalu mengenggamnya erat, seolah sedang memberikan kekuatan pada Tanya yang bercerita.

"Meskipun luka-luka, dia selalu mampir ke kamar, nyium kening gue, dan ngucapin selamat malam," Suara Tanya terdengar parau sekarang. Fajar bisa menangkap getar kecil yang Tanya sembunyikan di balik suara lirihnya.

"Sampai suatu pagi, Papa nganterin gue ke TK, terus ngejanjiin malemnya kita mau makan bareng sama Mama. Tapi dia ga pulang Jar. Engga, dia pulang."

"Dia pulang dalam keadaan dingin, penuh luka, dan ga bisa ngecup kening gue lagi buat selamanya," Tangis Tanya pecah. Air matanya tanpa seizinnya melesak keluar.

Meski tangisnya tanpa suara, Fajar tahu gadis di depannya itu sedang terluka. Bahkan mungkin lukanya lebih sakit dari yang saat ini dirasakan tubuhnya.

Fajar melepas genggaman tangannya, namun sedetik kemudian melingkarkan tangannya di tubuh Tanya dan menariknya untuk mendekat. Didekapnya Tanya erat ia membiarkan gadis yang sedari tadi terisak itu bersender pada dadanya.

"Maaf," bisik Fajar sambil mengusap rambut Tanya lembut. "Tapi lo bisa nangis sepuas lo sekarang kalau lo mau."

Tubuh mungil Tanya gemetar seiring dengan isak tangisnya yang semakin kencang. Baris kata yang diucapkan Fajar cukup hebat untuk membuat pertahanannya runtuh.

Sejujurnya ia iri pada remaja lain yang masih bisa bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Ia Iri pada mereka yang bisa mengeluh kapanpun mereka mau. Sedang dirinya harus selalu terlihat kuat tak peduli bagaimana keadaannya yang sebenarnya.

Hampir satu jam mereka tetap berada dalam posisi seperti itu. Tangan Fajar masih mengusap pelan rambut Tanya, mengabaikan rasa pegal dan kram yang sejak tadi menggerogotinya.

Ia tak peduli, yang ia pedulikan hanya rasa tenang yang harus ia berikan pada gadis rapuh itu.

"Mau eskrim?" tawar Fajar, yang dijawab anggukan cepat oleh Tanya di sela pelukan mereka.

Fajar tertawa pelan, "Dasar."

Ia kemudian berdiri tanpa melepaskan pelukannya pada Tanya, membuat tubuh gadis itu terangkat dan ikut berdiri juga.

"Lo lupa sama cara lepas pelukan?"

"Emang udah ga sedih?" tanya Fajar, yang malah semakin mengeratkan pelukannya.

Tanya mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Fajar, "Masih. Tapi udah gapapa kan mau makan eskrim."

"Gipipi kin mii mikin iskrim," cibir Fajar.

Tanya FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang