Chapter 18: I Hate This Feeling

764 16 1
                                    

Niall’s POV

            Air dari kran mengalir di atas washtafel di dalam kamar mandi. Kubasuh wajahku dan melihat apa yang terpantul di cermin. Kenapa kau masih saja memikirkan hal itu, Niall. Sudahlah. Bukan sebuah topik yang harus dibicaran. She loves him. Not me…

“Kau tidak pulang, Ni?” tanya Jasmin yang tengah terduduk di atas tempat tidur.

“Kau mengharapkanku untuk pulang?” tanyaku balik setelah menegak segelas air mineral.

“Um.. not like that… but, you must take a rest. Yang lain juga sudah pulang, kan,”

“Hahaha, I will be here until your parents come. Two days later they will be here,” kugeser kursi ini dan kudekatkan dengan tempat tidur di mana Jasmin duduk. Untuk memudahkan mengobrol tentunya.

“But, tomorrow is New Year. You should celebrate it with your family or your friend,” lanjutnya seperti memaksaku untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya.

“You’re my friend and my family too. So I will spend my New Year with you here,” aku memberikan senyum manisku padanya dan dapat kulihat wajahnya memerah. Ini sudah sangat cukup bagiku.

“Um, Jasmin. Kalau bisa, bolehkah aku mendengar cerita tentang David?” pintaku padanya. Dia hanya memberikan pandnagan yang menunjukkan kesedihan di kedua bola matanya.

“But if you can’t, it’s ok. I’m just wanna–“

“I will tell you about him,” ucapnya memotong perkataanku. “Dia laki-laki yang baik. Cinta pertamaku yang selalu kuanggap kakakku sendiri. Anak yatim-piatu yang selalu mewarnai hariku,”

“Yatim-piatu? He-he doesn’t have any parents?” tanyaku sedikit kaget.

“No. I always remember that day when I first met him six years ago…”

Flashback: ON

            Sore hari di musim panas yang sangat terik, aku melihat segerombolan anak laki-laki yang bermain layangan di atas bukit. Kurasa mereka semua adalah anak-anak dari panti asuhan yang tidak jauh dari sini. Ingin rasanya aku bisa bergabung bersama mereka. Tapi apa daya, aku hanya anak perempuan lemah yang sangta sulit untuk bisa bermain seperti mereka.

“Ah, layangannya!” teriak secara tidak sengaja ketika aku melihat sebuah layangan yang putus lalu terbang menjauh ditiup angin. Salah satu dari mereka sepertinya menyadari teriakanku.

“Hei, kau mau bergabung bersama kami?” tanyanya mengajakku.

“Ta-tapi aku tidak bisa. Aku terlalu lemah untuk melakukan apa yang kalian lakukan,” jawabku. Kulihat sepertinya anak laki-laki ini memikirkan sesuatu dengan sangat serius.

“Kau tidak harus bermain seperti yang kami lakukan. Kau bisa melihat kami memainkannya di sana. Setidaknya lebih dekat dari sini,” senyuman lebarnya membuatku semakin gembira dengan ajakannya. Inilah awal dari segalanya. Awal dari aku bisa kenal dengan David, bermain tanpa bahaya, dan tertawa bersama sesuatu yang kuanggap teman.

            Lima tahun telah berlalu. Usiaku tujuh belas tahun dan aku masuk SMA yang sama dengan David. Ya, kami hanya TINGGAL berdua saat ini. Teman-teman kami yang lainnya mulai meninggalkan panti asuhan karena para pengadopsi mulai berdatangan ke panti asuhan ini tahun demi tahun.

            Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. David telah kuanggap sebagai kakakku karena aku tidak memiliki kakak. Dan David menganggapku adiknya karena dia tidak memiliki saudara (alasan yang sedikit aneh). Kakak. Itu bukan sebuah kata yang cukup bagiku. Aku merasa perlahan muncul perasaan suka pada dirinya. Bukan hal yang mustahil, kan?

When Asphodel Start to BloomWhere stories live. Discover now