Pelamaran (1)

60 13 1
                                    

Cuss!
Kita langsung aja ya ke ceritanyaa!!

Maaf telat, seharusnya aku publish jam 10 tadi hehe

Keep enjoy!

▫▫▫
"Kirana Santiago, kamu mau menjadi istri saya?" Ucap seorang pria berkemeja hitam yang tidak lain adalah Jona. "Hah? Gimana, gimana?" Ran melongo dan sedang memproses ucapan pria yang tidak dikenali itu.

Sudah 5 hari sejak Van melayangkan tinjunya kepada Jun. Mereka memutuskan untuk berdamai dan menganggap kejadian itu adalah pembelajaran.

Bukankah seharusnya seperti itu? Setiap kesalahan di masa lalu akan menjadi pembelajaran di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Mereka sudah baik-baik saja, dan bahkan semakin akrab. Namun semua itu harus diuji kembali dengan kedatangan seorang pria tidak dikenal ke rumah mereka dan melamar satu-satunya perempuan di keluarga mereka. Van yang hanya menyetujui Ran dengan Alfian jelas-jelas menolak. Dan Jun yang memiliki jagoan pun tidak menerima Jona. Di hati dan pikiran Jun, hanya Sean lah yang pantas untuk memiliki kakaknya.

Memang, uang bukanlah segalanya. Tetapi kita tidak akan bisa hidup jika tidak memiliki uang, bukan? Begitulah cara berpikir Jun. Bagaimanapun mereka harus tetap hidup dan meraih kehidupan pernikahan yang bahagia.

"Maaf, tapi saya punya pacar" Ucap Ran berusaha sopan. Bagaimanapun didikan tentang sopan santun masih tersimpan baik di kepalanya. Jona tak bereaksi. Dia hanya menunggu sampai wanita itu mengatakan bahwa dirinya menginginkan hal yang sama.

Jona menghembuskan nafasnya lega. "Saya hanya ingin menawarkan pernikahan kontrak. Tenang saja. Kamu bisa tetap menjalin hubungan dengan pacar kamu, selama kamu bisa menyembunyikannya dari media dan khalayak" Ucapnya sambil mengarahkan sekretaris untuk menyodorkan kontrak pernikahan yang sudah dia susun. "Itu adalah kontrak pernikahan yang saya susun. Kamu cukup membaca dan menandatanganinya. Atau jika kamu memiliki usulan yang lebih baik, kamu bisa mengusulkannya kepada sekretaris saya." Jona berkata sembari melangkahkan kakinya ke luar rumah. Namun saat dia sampai di ambang pintu, dia berhenti dan berkata lagi "Saya tunggu jawaban kamu selama seminggu."

Jona melangkahkan kakinya lagi namun, "Tidak perlu menunggu seminggu, jawaban saya sudah jelas. Saya tidak dapat menerima penawaran ini" Jelas Ran.

"Maaf, bukannya saya sok menolak, tapi bagi saya pernikahan adalah kegiatan sakral yang tidak bisa di rekayasa. Saya tidak ingin mempermainkan makna dari pernikahan itu. Lagipula saya masih memiliki seorang pacar yang mencintai saya, untuk apa saya menikahi anda?" Sejujurnya Ran merasa kesal setengah mati dengan sikap sang CEO itu. Sungguh sombong. Namun Ran masih berusaha untuk menjaga kesopanannya. Ran yakin bahwa kalimat yang dia ucapkan cukup menyadarkan pria sombong itu. Namun, "Apakah kamu yakin kamu akan bahagia bersama pacar kamu?" Dia mengucapkannya tanpa memandang wajah Ran dan langsung pergi dari rumah mereka meninggalkan ketiga bersaudara itu dalam pikirannya.

"Songong banget tuh orang" Gerutu Jun. Anak bungsu itu merasa sangat terganggu dengan kehadiran Jona di pagi ini. Kesadaran Jun belum terkumpul sepenuhnya mengingat saat ini masih pukul 7 pagi dan dia sedang tidak memiliki kelas. Padahal biasanya dia akan tertidur hingga pukul 10 pagi. Lagipula meski Jona kaya dan terlihat mapan, Jun tidak yakin pria itu akan mau membantu kehidupan Jun dan Van. Dimata Jun, Jona hanya akan melakukan segalanya untuk diri sendiri dan maksimal kepada Ran karena wanita itu akan menjadi istri kontraknya.

"Bener. Dia pikir hidup kita parah banget kayanya. Gue juga gak butuh duitnya dia. Dih" Ucap Van sambil beranjak menuju dapur dan mengisi kerongkongannya dengan air dingin. Van sama sekali tidak suka dikasihani. Semenjak mereka bertiga kabur dari rumah, Van bersusah payah mencari tempat tinggal bagi mereka. Dimulai dari tinggal di bagasi orang lain, bahkan kadang dia hanya membentangkan koran di trotoar untuk menjadi tempat tidur mereka. Dia beberapa kali menitip Jun yang masih bayi ke panti asuhan jika hari sudah menjadi malam. Dia tidak ingin adik bontotnya itu sakit dan menderita meski masih kecil. Dia bekerja mati-matian dengan mengorbankan pendidikannya demi menghidupi mereka bertiga. Dan setelah segala kesulitan itu, akhirnya mereka bisa membeli rumah yang sangat minimalis dengan dibantu pemilik panti asuhan. Awalnya rumah yang sangat kecil hingga rumah yang sekarang mereka tempati. Van sudah melewati semua tahap dalam hidupnya. Disiksa, ditekan, dihina, dikucilkan. Hal itu sempat membuatnya membenci orang-orang yang mampu. Namun, setelah bertemu Rere, dia mendapati bahwa tidak semua orang kaya sekejam itu. Van mengetahui makna dari bekerja keras, dan hal itulah yang memicunya tidak suka dikasihani.

Saya TerimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang