Sepucuk Cinta untuk Ayah

8 3 6
                                    



Pagi itu aku belajar hal baru. Gadis kecil berusia sekitar lima tahun ingin bisa mengendarai sepedah kecil yang Ayah berikan untuknya. Itu aku. Ayah bilang, tak ada yang tak bisa aku lakukan. Aku tersenyum getir walau rasa takut menyelimuti hatiku. Ini kali pertama aku belajar mengendarai sepedah roda dua, dan ayah siap membantuku.


Jalan depan rumahku kala itu cukup ramai dilalui oleh kendaraan bermotor. Ayah mengizinkanku untuk turun ke jalan jika ia sudah memastikan tidak ada lagi kendaraan yang lewat. Sekiranya sudah aman, barulah ia menuntunku untuk mengayuh sepedah. Tubuhku masih belum bisa menyeimbangankan laju sepedah itu. Dengan sabar, Ayah terus mendampingiku. Aku senang, tetapi takut juga. Khawatir jatuh dan akan terluka.


"Ayah aku tak bisa!" ucapku takut kala sepedah yang aku tumpangi terasa ingin jatuh.


Ayah menyeimbangkan sepedahku lagi. "Tidak. Kamu hanya takut, Ellena. Kamu harus berani, agar sepedah ini tidak menjahili kamu terus."


Aku berusaha untuk mengikuti perkataan ayah. Aku harus berani. Tak boleh takut oleh apa pun, dan tak boleh cengeng walau aku terlahir sebagai seorang anak perempuan.


Itulah satu kenangan kecil yang masih aku ingat hingga sebesar ini. Beribu kenangan indah yang Ayah buat bersamaku. Aku tak akan pernah lupakan itu.


Mungkin dulu, hari ketika aku dilahirkan, katanya Ayah sempat kecewa. Aku terlahir sebagai anak perempuan, namun Ayah menginginkan anak laki-laki. Segores luka terukir pada hatiku saat mendengar cerita itu dari seseorang. Begitu aku lahir dan menangis, Ayah pergi meninggalkanku. Ia masih berharap dan menginginkan anak bungsunya itu berjenis kelamin laki-laki. Aku sangat sedih.


Namun lambat laun cerita itu hilang. Aku tak percaya, sikap dan rasa sayang yang Ayah tunjukan saat ini berbanding terbalik dengan sikapnya kala itu. Hingga detik ini, usiaku yang menginjak enambelas tahun, Ayah sama sekali tak pernah memarahiku. Apa lagi membentak, tak pernah dilakukannya. Aku yakin ia tak pernah ingin hatiku terluka. Aku adalah putri kecilnya yang mungkin dulu sempat membuatnya kecewa, namun aku juga putrinya yang menanggung banyak harapan. Ayah tak bisa memarahiku, barang sedikit saja.


Setelah kakakku, Ayah menyimpan banyak harapan yang tak bisa ia realisasikannya sendiri kepada aku. Jujur, hal ini cukup berat bagiku. Khawatir tak bisa mewujudkan impian besarnya. Khawatir membuatnya kecewa. Khawatir tak bisa membuatnya tersenyum bahagia karena usahaku.


Sampai suatu hari, saat kondisi keluargaku terpuruk, aku mengambil sumpah dan berjanji pada Tuhan. Berani sekali Ellena yang dulu sangat manja, kini mengambil sumpah yang tak main-main.


"Aku janji! Aku akan menjadi orang sukses untuk Ayah dan Ibu! Ayah dan Ibu akan bahagia dengan hasil jerih payahku! Ayah, Ellena akan bahagiakan Ayah dan tak akan mengecewakan Ayah! Ellena janji! Ya Tuhan, dengarkan janji Ellena dan tolong bantu Ellena!"


Air mataku terus mengalir seiring kalimat-kalimat itu terlontar dari mulutku. Aku berpikir, tujuanku hidup di dunia ini, selain beriman kepada Tuhan, yaitu membahagiakan orang tua. Membalas jasa mereka yang walau sebenarnya tak akan pernah lunas sampai kapan pun. Tapi setidaknya, aku bisa melihat mereka tersenyum bahagia karena aku – Ellena, putri bungsu mereka.

Sepucuk Cinta untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang