Pip ... piiip
Aku terlonjat kaget. Bagaimana tidak, mobil itu membunyikan klaksonnya secara tiba-tiba. Padahal aku sudah berjalan ditepi, tapi masih saja di klakson."Memang ya, pejalan kaki selalu salah dimata pengendara!" Omelku sambil membersihkan rok sekolah abu-abuku yang terkena cipratan air.
Setiap hari aku selalu seperti ini, berjalan kaki ke sekolah. Rumahku juga tidak terlalu jauh, hanya berkisar 500 m dari sekolah. Aku tidak punya kendaraan apa-apa, kalian pasti tahu penyebabnya. Aku hanya ingin menghindari kejadian hampir 8 tahun lalu, tapi bukan berarti aku tidak pernah naik mobil ya. Sering kok naik taksi, cuma belum berani mengemudi dan belum tahu juga mengendarai motor atau mobil, dan tidak berniat untuk belajar. Oke skip saja.
Berjalan di koridor sekolah sambil menunduk adalah ciri khasku. Bukan karena apa, siswa-siswa di sini sangatlah tidak wajar dalam memperlakukanku. Sekolah ini bagai Neraka versi dunia, menurutku. Kenapa aku bilang Neraka? Aku selalu mendapat perlakuan tidak baik disekolah ini. Aku menjadi bahan Bullyan mereka.
"Kalo miskin jangan sekolah disini!" Meria dengan sengaja mendorong tubuhku dan aku langsung terhuyung ke belakang. Belum sempat aku berdiri, dia dengan sengaja menginjak tanganku. Rasanya sangat sakit. Belum lagi sepatunya, sepatu ber-Hak. Semacam pantofel, tapi lebih tinggi. Entahlah, namanya apa.
"Arrghh ... Mer, sakit Mer!" Aku mencoba menegurnya. Tapi bukannya meredah, malah dia semakin menekan sepatunya. Menutup mata adalah jalan ninjaku.
"Kenapa lo nutup mata? Takut lo?" Dia menarik daguku dan menyuruhku untuk membuka mata. Wajahnya yang pertama kulihat full akan Make Up. Seperti tante-tante girang saja.
"Uh cupcup, jangan nangis." Dia memperhatikan pakaianku dari atas sampai bawah tentunya dengan kakinya yang masih setia menginjak jari-jari tanganku, "Gembel!" setelah mengatakan itu dia menghentakkan wajahku dengan kasar hingga terbentur di tembok. Setelah itu dia pergi meninggalkanku di koridor sekolah dengan siswa-siswa yang mulai berbisik-bisik.
Aku lupa mengenalkannya, namanya Meriashunny Helena. Anak kelas XI Ips 5, terbukti dia anak Ips 5 dengan otaknya yang bobrok.
Meria tidak sendiri. Dia selalu membullyku dengan dua temannya yaitu Yoanika dan Desliane. Walaupun mereka berdua itu jarang membullyku secara fisik, tapi dengan cara diam saja ketika aku di bully, bukankah itu termasuk pembullyan?
Aku berdiri, lagi-lagi membersihkan rok abu-abuku yang kotor dan mulai melangkahkan kakiku ke kelas. Ketika masuk ke dalam kelas, Aku menghembuskan nafas gusar.
Dengan cepat aku mengambil sapu untuk membersihkan area tempat dudukku. Selalu saja, setiap orang yang berpiket dari hari Senin-Jumat, mereka selalu menampung kotoran di mejaku. Dan terpaksa aku sendiri yang meneruskannya sampai ke teras kelas. Selalu saja seperti ini. Oke, Aku tabah.
"Woi! Masokis, di cari Pak Burhan lo. Di tunggu di ruangannya!" Aku langsung berdiri ketika Regal meneriakanku dari luar kelas dan segera berjalan menuju ruangan yang dimaksudkan tadi.
Aku lupa bilang ya? namaku disekolah ini dikenal dengan Masokis. Bukankah Masokisme itu Kelainan seksual untuk orang yang senang ketika disakiti atau di rendahkan? ya tidak salah lagi. Masokis adalah kelainan mental dimana seseorang merasa puas ketika dirinya disakiti. Semua siswa disini memanggilku dengan sebutan itu.
Kenapa? alasannya cukup klise. Karena aku tak berani melawan ketika diriku ter-Intimidasi (bullying). Aku tidak melakukan perlawanan apa-apa kepada mereka yang selalu melukaiku secara fisik, bahkan tak jarang aku hanya tertawa ketika orang-orang itu menindasku.
Apa aku gila? tentu tidak. Nanti kalian akan tahu sendiri.
Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu ruangan Pak Burhan, "Masuk!""Kenapa Maretta?" tanya Pak Burhan. Dahiku langsung kukerutkan, bukankah dia sendiri yang memanggilku untuk ke ruangannya, tapi kenapa dia yang bertanya?
"Bukannya bapak memanggil saya?" Tanyaku mulai kebingungan.
"Siapa bilang? Bapak tidak memanggil siapa-siapa. Bapak pikir kamu yang ada perlu!" Ucapnya sambil membolak-balikan tumpukan berkas di atas meja.
"Ah iya pak, maaf. Mungkin saya salah dengar, saya permisi pak," Aku berdiri dan keluar dari ruangan itu.
Lagi-lagi aku dikerjain. Merutuki diriku yang gampang sekali percaya dengan orang padahal aku sudah di tipu berkali-kali, tapi masih saja percaya. Dasar aku.
Sampai dikelas, Aku duduk dan membaca-baca kembali pelajaran minggu lalu. Aku paling senang dengan pelajaran Bahasa inggris. Karena Almarhumah Ayah selalu mengingatkanku bahwa 'Bahasa Inggris itu, bahasa Internasional. Harus di pelajari ya' seperti itulah kata-katanya yang masih kuingat sampai sekarang.
Kalian bertanya tentang sahabatku? aku tidak punya sahabat di sekolah ini, kurasa diriku tidak pantas bersahabat. Bukankah sahabat itu yang saling menguntungkan?aku takut jika mereka bersahabat denganku, yang ada mereka akan mendapat kerugian setiap harinya. Lagipula, tidak ada yang ingin bersahabat dengan orang yang punya kelainan mental seperti diriku. Apa kamu mau bersahabat denganku?
"Kenapa nih anak pakaiannya lusuh banget?"
"Iya ya, kaya ga diurus sama orang tuanya!"
"Eh, dia kan yatim-piatu!"
Kudengar mereka berbisik-bisik. Mereka tidak tahu saja, bagaimana susahnya diriku. Aku membiarkan mulut mereka itu berbicara hal buruk tentangku, toh dosanya juga. Aku hanya duduk anteng, tiap hari selalu diberikan pahala dari orang-orang yang menceritakan hal buruk mengenai diriku. Sepanjang hari kulewati seperti itu.
-
Triiingg ....
Bel yang paling dinanti-nanti telah berbunyi. Guru di dalam kelas sudah keluar diikuti teman-temanku yang mulai berhamburan menuju parkiran.
Sekarang, tersisa diriku di dalam kelas ini. Aku mengambil benda pipih persegi empat itu dari dalam tasku, sebuah handphone dengan logo Apple. Ini handphone Aunty Naomi. Aku mengambilnya sebagai kenang-kenangan dari dirinya, dan di ponsel ini banyak foto-foto Ayah, Ibu, dan Aunty naomi sangat berarti.
Walaupun sesekarat apa keuanganku, Aku tak akan pernah menjual aset ini. Aku selalu menjaganya dengan baik karena inilah satu-satunya yang aku punya.
Aku menyalakan wifi diponselku, dan benar saja langsung terconnect. Menumpang wifi gratis demi mengecek media sosialku terutama facebook, Aku bosan menggunakan mode gratis.
Asik Menscrool-scrool beranda, astaga tanpa kusadari waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Dengan cepat aku membereskan buku-buku dan mengambil tasku. Berlarian di koridor sekolah, hatiku legah ketika melihat gerbang sekolah masih terbuka dengan lebar.
"Kenapa baru pulang, Neng?" Tanya pak satpam penjaga sekolah itu.
"Hehe biasa pak," Ucapku kepadanya sambil mengangkat ponsel, dia pasti paham. Karena dia sendiri yang memberitahuku password wifi sekolah.
Ketika aku sampai di rumah, buru-buru membersihkan tubuhku kemudian menyelesaikan pekerjaan. Aku membiayai hidupku dengan cara aku bekerja setiap malam di Cafee. Aku seorang pelayan tidak masalah bagiku, yang penting halal.
Walaupun gajinya 700.000,00 per bulan, itu cukup kok untuk membiayai hidupku yang sebatang kara ini.
Ketika di Cafee, Aku diam-diam mengamati pengunjung. Tak sadar, air mataku lolos begitu saja. Aku menangis secara tiba-tiba di sepersekian detik selanjutnya aku tertawa lagi.
"Maretta, jangan coba-coba buat sesuatu dengan kelainan mentalmu itu!" Ucap Mbak Mika, pemilik Cafee.
Sepertinya penyakitku kambuh lagi.
•••
Salam hangat,
Azashaqila❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Maretta's Mental Disorder
General Fiction"Maaf, kau tidak bisa sembuh secara total. Kelainan mentalmu ini, bukan kelainan mental ringan. Ini berat," ucap Psikiater Jun dan memijit pelipisnya. "Apa saya tidak bisa disembuhkan?" tanyaku sekali lagi. "Bipolar tidak bisa sembuh total, hanya bi...