Bab Tak Berjudul 1

2 0 0
                                    

Doktrin Teh Jelly
Sejak dahulu, Arman tidak suka hari Senin. Jalan berjejal, asap mengepul, klakson yang bersahut-sahutan, dan kendaraan roda dua yang sering menyalip; semua adalah pemandangan yang harus disaksikan setiap kali hendak berjalan ke kantor. Tetapi, pemandangan ini tak lagi dijumpai Arman hari Senin ini.
Sayangnya, kebencian Arman pada hari setelah hari Minggu itu kian menjadi-jadi. Apa pasal? Arman sudah dinyatakan putus hubungan oleh kantornya dua hari yang lalu. Karena penjualan yang terus menurun dan biaua operasional yang kian membengkak, nama Arman tercantum dalam daftar 95 pekerja kantornya yang dirumahkan. Padahal, Arman tak begitu membenci pekerjaannya sebagai dealer mobil buatan Eropa itu.
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan sikap dan cara kerja Arman. Perusahaannya-lah yang menempatkan lokasi dan model bisnis kurang relevan dengan pola pikir kebanyakan masyarakat di kota itu: sangat gemar dengan barang-barang buatan Asia dan kurang familiar dengan barang Eropa. Arman kini harus putar otak, agar dapur tetap mengepul dan dompet tetap terisi. Selain itu, kebingungan semakin menderanya, karena tak tahu bagaimana harus merajuk kepada sepasang mertuanya, yang kerap bertanya soal karir Arman dan istrinya di kala berkunjung ke rumah kontrakannya setiap minggu. Tak jarang, mereka sering membandingkan pencapaian Arman dan anak mereka-istri Arman, kendati Arman tak pernah bersaing dengan pasangannya dalam karir profesi.
Dengan malu-malu, pagi ini Arman berterus terang pada istrinya. "Hetty, maafkan Masmu ini. Mas sudah tidak bekerja lagi di dealer. " Hetty terperanjat tapi tak lama, maka ditimpali lah suaminya itu dengan tenang. "Sudah kuduga, Mas Arman. Memang dua minggu terakhir aku ikut ke kantormu, tampaknya tidak banyak pembeli. Aku janji takkan bilang pada orangtuaku. Sekarang, kita coba ihemat dulu ya, apapun yang jadi pengeluaran pribadi.". Arman sedikit lega mendengar tanggapan legowo dari istrinya yang sudah dinikahi dua setengah tahun silam itu. Paling tidak, menurut Arman, uang pesangon bisa dimaksimalkan sampai bulan depan.
Perubahan memang selalu terjadi kapan saja, tidak bisa ditebak oleh mata batin manusia sekalipun sedang merenung sangat dalam. Hari keesokannya, setelah Arman mengakui status PHK-nya, Hetty mendekam lama di kamar mandi. Meskipun Arman tidak ingin buru-buru mandi, tetap saja ia cemas akan istrinya yang juga pemilik usaha laundry itu. "Hetty, apa kamu baik-baik saja? Aku dengar suaramu muntah-muntah dari ranjang", tanya Arman setelah menguping kamar mandi yang terkunci itu.
Alih-alih keluar dengan wajah pucat pasi, Hetty menampakkan keheranan seusai membuka kamar mandi dengan pakaian daster, "Mas, coba lihat ini.", ajak Hetty pada Arman untuk mendekat sembari menyodorkan sebuah alat yang wujudnya hampir serupa dengan termometer digital. Test pack. Garis dua di test pack.
"Kita sebaiknya ke dokter dulu saja, Het.", celetuk Arman menerawangi test pack tersebut. Diboyonglah wanita berambut sebahu yang berusia hampir tiga puluh tahun itu menuju poliklinik terdekat. Biaya kesehatan Arman dan tanggungan telah diputus, bersama dengan hilangnya hak kerja minggu lalu. Maka mengantri di rumah sakit mitra bukan lagi pilihan. Setelah diperiksa sekian puluh menit, dokter jaga poliklink mengucapkan selamat pada Arman dan Hetty: anggota keluarga pasangan itu akan segera bertambah satu orang. Arman dilanda perasaan campur aduk: antara senang atau risau. Senang karena yang dinanti-nanti sekian tahun akan hadir, sekaligus risau karena pemasukan satu-satunya bergantung pada pemasukan laundry milik Hetty.
Untungnya, Arman bukan seorang pria yang tenggelam dalam post-power syndrome dan gengsi berlebihan. Arman memang ingin kembali bekerja di dalam gedung yang ber-AC, namun kebutuhannya untuk mencari penghasilan tambahan tak terelakkan, sehingga ia tekan ego-nya untuk mengerjakan apa saja yang penting halal. Begitu ada lowongan harian penyebar brosur, pekerjaan itu dilakoninya dengan sungguh-sungguh. Kaca mobil demi kaca mobil, motor demi motor ia ketuk, untuk diserahkan brosur pembukaan restoran baru.
Tetiba, Arman melihat suatu gelagat yang ganjil di perhentian lampu merah. Salah seorang pengemudi motor terlihat mengambil ancang-ancang hendak memecahkan kaca mobil di sebelahnya. Ketika kaca nyaris dipecahkan, Arman menghamburkan sisa brosur yang digenggamnya, lalu segera mencegah si pengemudi motor yang mencurigakan itu. Mobil yang kacanya pecah itu, alih-alih turut menolong Arman, justru malah terus melaju menembus lampu lalu lintas. Arman diserang balik oleh pemotor itu dengan kunci stang sampai tersungkur. Untungnya, masih ada beberapa pengemudi lainnya yang cukup prihatin dengan kejadian itu, hingga dipapahlah Arman yang tersungkur ke pinggir trotoar. Awalnya, para pengemudi ini mau membawa Arman ke rumah sakit atau puskesmas. Tapi semua itu berubah, saat Arman berterus terang bahwa dia sedang tak punya uang. Jadilah orang-orang yang menolong Arman hanya sekedar berinisiatif membelikan hansaplast , kain kassa, perban, dan kopi hangat.
Tatkala melaporkan hasil sebaran brosurnya, Arman tak mendapatkan upah yang dijanjikan sepenuhnya, kendati ia berterus terang tentang kejadian yang membuat pundak dan pelipisnya terluka.
"Pokoknya, saya tidak mau tahu! Kita juga lagi pada susah disini, jadi hanya itu yang bisa kamu terima. Terima kasih, besok jangan datang kembali!", sembur manajer restoran sambil menyerahkan amplop berisi uang seratus ribu rupiah.
Arman beranjak pulang dengan hati kecewa. Risau menyergap hatinya, terutama saat memikirkan bagaimana ia akan diperlakukan oleh mertuanya saat tahu bahwa dirinya sudah pengangguran sementara cucu mereka akan segera hadir ke dunia. Arman mulai terpikir, untuk nekad meminjam uang pada rentenir atau bank, ketimbang anaknya lahir tanpa biaya memadai. Setiap harinya, Arman senantiasa terpapar berita-berita pilu tentang kesehatan bayi yang terabaikan oknum -oknum rumah sakit tak bertanggung jawab, dari koran yang biasa mengisi rutinitas sarapan paginya.
Kerisauan Arman itu terjeda sejenak, saat terdengar bel hawker penjual es krim keliling di sekitar jalan masuk kontrakannya. Arman dan empat orang lain yang ada di sekitar jalan raya kecil itu mencegat si tukang es krim. Sejak kecil, es krim punya peranan yang cukup besar dalam mengelola kestabilan jiwa seorang Arman.
"Mas, mau pesen es krim kerucut satu.", pesan Arman pada penjual es krim yang memakai topi bergambar panda. Dengan sebagian uang hasil penjualan brosur itu, Arman pilih menenangkan diri dengan segenggam es krim rasa oreo campur raspberry. Rasa asam yang terkandung dalam raspberry itu perlahan-lahan memijat rasa kelelahan yang bertumpuk di benak Arman.
Selagi menikmati es toping itu, Arman terusik dengan obrolan sepasang suami istri yang turut mencegat tukang es krim itu, Terlihat seorang lelaki dan perempuan makan es krim strawberry berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. "Aku tak bisa begini, terus." ujar si lelaki, mengeluh. "Tapi Mas, kalau kita tak pakai kartu kredit, nanti kapan kita bisa punya mobil dan rumah?", tanya si perempuan bersungut-sungut. "Baik, kalau kamu memang memaksa. Mas ingin tanya dulu sama kamu, Marisol: kalau misalkan kita punya mobil dan rumah hasil menghutang dari bank, kapan kita yakin bisa balikin semua uangnya? Memangnya yakin kalau kita nanti telat bayar, banknya tidak akan mengupah preman untuk mendesak kita? Kalau sudah jatuh tempo, yakin banknya hanya kasih denda saja? Ada dua orang temanku yang berhutang kredit ke bank swasta, walhasil rumah mereka dijual dengan harga sangat murah begitu tidak bisa bayar hutang selama 2 tahun."
Perdebatan suami-istri yang sedang makan es krim itu terus berlarut-larut, sementara Arman memutuskan untuk segera pulang dengan mencerna salah satu isi obrolan debat yang tak sengaja disimaknya tadi. Tanpa disadari dua sejoli itu, debat kusir mereka tentang hutang memupus keraguan Arman untuk tidak menghutang. Teringat belum shalat maghrib, Arman segera mendatangi salah satu masjid terdekat yang terletak dua ratus meter sebelum masuk kontrakannya.
Hari itu adalah hari Kamis. Seusai shalat maghrib ditunaikan, Arman melihat seorang bapak berjenggot tipis membagikan teh jelly kepada jamaah di gerbang masuk masjid. Teh jelly itu sama sekali tak dihargai sepeser rupiah pun.
"Ambil saja, Mas, Pak. Insha Allah gratis untuk para jamaah. Baik yang berpuasa maupun tidak. ", imbau bapak berjenggot tipis itu sembari membagikan satu persatu teh jelly untuk para jamaah. Arman yang turut mengantri pun terkesima dengan pemberian gratis itu. Arman hendak menyodorkan uang sepuluh ribu kepada Bapak tersebut, namun ditolak. Arman yang masih kehausan meskipun es krim sudah ditelan, sekejap menghabiskan teh jelly yang dikemas dalam botol berukuran sedang itu. Telepon genggam berdering, Arman segera merogoh benda elektronik itu. Sebuah pesan masuk, dari Hetty
"Mas Arman masih lama di jalan? Aku pusing dan mual-mual. Belikan sesuatu yang hangat, dong, Mas."
Seusai membaca pesan, Arman melihat bapak berjenggot itu menutup cooler box-nya. Arman yang masih keheranan dengan kedermawanan bapak berjenggot, segera menghampirinya:
"Pak, permisi. Toko bapak di sebelah mana ya, Pak?"
"Oh, ada apa ya, Mas? Ada apa mau ke toko saya?"
"Lihat bapak bagikan teh jelly tadi, saya jadi ingin kerja dengan Bapak. Saya baru di-PHK minggu kemarin. Saya lagi -lagi baru kehilangan pekerjaan. Sudilah kiranya bila saya bisa ikut berjualan sama bapak.."
"Subhanallah. Semoga antum dikuatkan. Sebenarnya, ini bukan dagangan ana. Nanti bila antum ingin bantu berjualan, ambil saja di toko Makmur setiap pagi setelah shubuh. Kita sistemnya bagi hasil setelah jualan. "
"Wah, kalau upah adalah hasil setelah jualan tadi, bukankah uang yang diberikan tadi mestina masuk kas?. Kalau dibagikan gratis justru merugi, Pak."
"Insha Allah, tidak. Yang paling penting adalah niat kita yang harus lurus untuk berjuang sambil bersedekah. Nabi SAW junjungan kita bersabda bahwa berdagang adalah pembuka 8 dari 10 pintu rezeki, sisanya datang lewat sedekah dan infaq. Selain itu, yang harus kita tanamkan dalam hati: rezeki itu tak hanya berupa uang. Uang pun belum tentu jadi rezeki. Rezeki adalah segala hal yang menenangkan hati kita karena datangnya berkah. Sekarang kembali pada Mas, niatnya mau seperti apa dalam berjualan.."
"Baik, pak. Mudah-mudahan besok hati saya dimantapkan."
Setelah semalam merenung dan berdoa, Arman memantapkan hati untuk mengambil jualan di toko yang dimaksud bapak berjenggot kemarin. Siap untuk berdagang, berarti pula siap untuk membakar uang terlebih dahulu. Arman langsung saja menukar seratus ribunya untuk 40 botol teh jelly. Mula-mula, ia menjualnya di komplek sekitar rumah. Setelah seharian berjualan, hanya 12 botol yang terjual. . Tetiba, ia bertemu sesosok loper koran yang masih remaja. Remaja itu hendak berhutang ke warung untuk segelas air teh."Haus sekali. Bu. Maaf besok saya bayarnya. Kepala saya sudah pusing, Bu."
"Tidak bisa, dek. Sampai sekarang kamu masih belum bayar 10 gelas air yang kamu minta. Disini bukan yayasan; kamu pulang saja ya, Dek."
Hati Arman tergerak untuk memupus dahaga bocah itu. Keringatnya terlihat tak kentara, dan terlihat pening di bagian dahinya. Arman kemudian mengingat pesan yang disampaikan bapak berjenggot kemarin sore tentang keberkahan rezeki. Kendati belum banyak uang yang bisa dikantongi Arman, dengan penuh keikhlasan bocah itu ditawarkan segelas teh jelly. "Maaf, Mas. Koran saya belum laku."
"Tidak apa-apa, dek. Tidak perlu bayar untuk teh jelly ini. ", ujar Arman sembari menyodorkan satu botol teh jelly yang dijualnya. Diminumlah botol berisi air berarna coklat mengkilat itu "Habis jualan dari mana, Mas?", imbuh Arman setelah melihat hasrat minum remaja itu yang luar biasa.
"Saya habis menawarkan koran di sekitar jalan raya. Sekarang orang pada baca koran digital, jadinya tak laku. Teman saya yang biasa mangkal di trotoar bilang kalau mau jualan laku, harus berani coba ke jalan tol. Tapi saya ga kuat modal ke jalan tol, Mas.", tukas remaja loper koran yang masih mengusap keringatnya.
Jalan tol? Terbesit ilham di benak Arman. Ia baru saja ingat, bahwa jalan tol di Jabodetabek tidak pernah lagi sama sejak tahun 2014. Kendaraan selalu bertumpuk, klakson semakin mendominasi, limpahan perboden, hingga jalanan seperti kue yang diperebutkan satu koloni semut. Beberapa kali berjualan mobil, Arman teringat bahwa di stasiun perhentian truk, selalu ada ruang dimana mobil bisa diparkir. Maka, Arman berikan terlebih dahulu semua uang hasil penjualan untuk Hetty, lalu dipakailah uang sisa pesangon untuk membeli freezer gel dan jas hujan sebagai perangkat 'berbisnis'.
Keesokan harinya, Arman mulai coba berjualan teh jelly di salah satu ruas jalan tol antara Bekasi dan Bogor. Ketika mobil bertumpuk hingga sekujur jalur tol lumpuh, mulailah Arman coba jajakan 20 botol. Tak sampai satu setengah jam, 20 botol beling berisi teh Jelly itu kontan terjual habis. Begitu banyak orang merasa pengap karena bergumul di dalam roda empat, dan pelepas dahaga menjadi kebutuhan primer yang tak bisa dilewatkan untuk memupus kegetiran dan kelelahan. Arman mengulangi kembali rumusnya, tak disangka cooler-box-nya langsung kosong. Sejak titik itu, Arman mulai yakin akan kekuatan doa dan sedekah di balik ikhtiar.

TAMAT

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Doktrin Teh JellyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang