12. I Proud of You

50 8 1
                                    

Warung Buri. Sesuai namanya terletak di belakang gedung Psikologi. Tepatnya dekat dengan pintu gerbang di sebelah Utara. Tidak banyak yang menggunakan jalur tersebut. Sebab, tidak ada angkutan umum yang melintas. Jalan rayanya terhubung langsung dengan perumahan dan hanya mampu dilewati oleh satu kendaraan roda empat.

Pemiliknya orang Cirebon—Bi Nani namanya. Buri diambil dari Bahasa Jawa yang berarti belakang. Sepertinya Bi Nani tidak ingin pusing-pusing perkara nama adalah doa. Apalagi soal brand name menjadi elemen penting terkait kesuksesan bisnis. Tanpa paham ilmu branding pun warungnya selalu ramai. Nasi jamblang jadi menu paling laris—serta varian rokok yang lengkap.

Pras menghisap kembali rokoknya yang masih panjang. Lalu mengepulkan asapnya melalui mulut dan hidungnya. Kandungan nikotin perlahan menyembuhkan sakit di kepalanya. Seminar Sosial Klinis sebagai mata kuliah terakhir hari ini nyaris merontokkan rambutnya. Pras heran, mengapa baterai Avella bisa full sepanjang perkuliahan berlangsung?

Bicara soal Avella, Pras kembali diingatkan apa yang terjadi pada malam minggu. Albi tiba-tiba bertanya 'What is love', seakan memberi sinyal bahwa dia akan kembali memperjuangkan Avella. Kampus heboh—tentu saja. Albi dan Avella ibarat couple goals yang perpisahannya tidak diharapkan oleh siapapun, kecuali Pras. Berita mereka balikan mulai menyebar luas kurang dari seminggu pasca podcast. Panas hati Pras mendengarnya, hingga dia putuskan untuk mengungsi di Warung Buri.

"Lo cemburu, Ming?" tanya Jovan begitu menjatuhkan pantatnya pada kursi plastik di samping Pras.

Pras menoleh dengan raut terkejut. Tidak disangka Jovan akan secepat itu menyadari ada bara api yang membara di dadanya. Apakah perasaannya sejelas itu? Karena gengsi, dia memilih untuk bungkam dengan mengalihkan pandangan. Meneriakkan nama Bi Nani agar segera dibuatkan kopi.

Jovan yang sadar gelagat sahabatnya hanya bisa menghela napas pasrah. "Di dunia ini tuh cuma ada dua tipe cewek, Ming, kalau ngga matre ya bucin."

Pras mendecak lidah. Paham betul arah pembicaraan Jovan. Avella jelas bukan termasuk cewek matre. Harta orang tuanya cukup melimpah—yang artinya—serta mengingat gosip yang tengah beredar—Avella masuk kategori cewek yang terakhir.

"Bagus dong bucin, berarti dia setia."

"Iya kalau bucinnya ke elo. Lah ini bucinnya ke si mantan—uhuk-uhuk!" Jovan terbatuk karena Pras tiba-tiba memiting lehernya. Jovan menggeplak keras lengan kokoh Pras minta dilepaskan.

"Woy, sat, istighfar. Ini gue sahabat lo, bukan mantannya Avella—aduh, iya, maaf-maaf, woy Kiming anjing!"

Jovan menyesal telah memancing emosi Pras. Karena bukan hanya memiting, tapi Pras menempeli pipinya dengan upil.

"Jorok banget sih lo, najis!" umpat Jovan, lalu bergegas masuk ke dalam warung untuk membasuh wajah dengan air dan sabun sambil misuh-misuh. Meninggalkan Pras sendirian yang kini jadi melamun mempertimbangkan ucapan Jovan barusan.

Pras galau lagi.

Apa benar Avella belum move on dari si mantan? Kalau iya, kenapa hatinya jadi sesakit ini? Semacam ada perasaan tidak terima dan kalah. Sebenarnya, sudah sedalam apa perasaannya kepada Avella?

Pras mendongak. Memandang langit untuk mengalihkan perhatiannya. Kalau di film-film biasanya langit akan mendung menyamakan suasana hati tokoh utamanya. Ini justru sebaliknya.

Pras tertawa sinis. Oh, iya, Pras kan cuma tokoh sampingan yang tugasnya jadi babu Cinderella, kurcaci temannya Snow White, jam dindingnya Beauty and the Beast, dan Opanya Upin dan Ipin. Tidak ada yang spesial dalam diri Pras.

"Pras...!"

Sebuah teriakan nyaris membuat Pras terjengkang saking kagetnya. Plus, bahunya yang ditepuk disaat dia sedang larut dalam lamunan. Tawa evil Avella menderai. Kontras dengan Pras yang merengut tidak suka.

KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang