CHAPTER 1
“Huufft….!!”
Dhia menghela napas sambil memandang sekeliling sekolah barunya. Bukan senyum sumringah yang terlihat melainkan tatapan kosong.Dengan langkah enggan sambil mengeratkan kedua tali tas ranselnya gadis itu memasuki gerbang sekolah dan menyamakan langkah dengan siswa-siswa lain yang mulai berkerumun memenuhi halaman depan sekolah.
Dhiarra Zye. Gadis yang sering di sapa Dhia ini adalah salah satu dari sedikit siswa yang sering berpindah sekolah. Kali ini adalah sekolah ke empatnya dalam dua tahun terakhir. Penyebab itu bukan alasan dari keluarganya yang berpindah-pindah apalagi alasan ayah atau ibunya yang berpindah dinas, melainkan keinginan Dhia sendiri yang selalu memutuskan keluar dan pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Kenapa? Ntahlah.
Langkah ringan dilalui gadis itu bagai sudah terbiasa dengan koridor dan suasana sekolah manapun. Bertanya sekilas dengan siswa yang lalu lalang Dhia langsung mengenali kelas barunya.
“Hei. Sebelumnya dikelas berapa?”
Suara yang terdengar jelas dari hadapannya. Gadis dengan rambut kunciran satu menyapa Dhia. Tanpa menghentikan kesibukannya dengan isi dalam tas bawaan, Dhia langsung menjawab.
“Baru pindah.”
“Oh..! Dari sekolah mana?”
“SMA Harapan.”
“Yang di kompleks sebelah?”
“Iya.”
“Aku Sarah.”
“Dhia.”
Gadis itu tersenyum sambil mengangguk sebelum akhirnya berbalik mengakhiri pembicaraan dengan Dhia yang tampak hambar menurutnya. Tanpa menunggu lama Sarah kembali membelakangi mejanya dan mulai bertanya lagi dengan wajah yang penuh rasa penasaran.
“ Gila. Kenapa pindah? Bukannya SMA Harapan sekolah favorit?”
Mendengar pertanyaan itu Dhia menghentikan kesibukannya dan mulai melihat kearah Sarah. Masih dengan wajah penasaran dan menunggu jawaban Dhia, Sarah terlihat tak berkedip sekalipun.
“Pengen aja.”
“Masa sih?”
“……”
“Dari kelas berapa disana?”
“Cuma satu semester.”
“What? Serius?”
“hm.”
“Bukan Karena teman?”
“Bukan.”
“Pacar? Pacar direbut teman? Teman direbut pacar? Atau…”
“Bukan semua. Aku pindah cuman pengen aja. Alasan gitu gak masuk akal buat pindah sekolah.”
Sarah tersenyum puas mendengar jawaban Dhia. Seakan itu adalah jawaban terpanjang dan dapat diterima untuk didengar. Tak sia-sia dia melontarkan pertanyaan sekaligus. Pikirnya.
Melihat tingkah Sarah yang tersenyum tiba-tiba Dhia pun sedikit penasaran dan mulai bertanya.
“Kenapa senyum?”
“Pengen aja.”
Ekspresi yang sama diikuti gadis itu yang membuat keduanya berakhir dengan senyum dan tawa kecil.
“Eh Dhia. Duduk aja disebelah aku kosong kok gak ada orang.”
“Kamu aja yang duduk disini sebelah aku.”
“Oke.”
Tanpa tawar-menawar, Sarah beranjak dari kursinya dan pindah ke kursi belakang. Kini mereka duduk bersebelahan. Inilah awal pertemanan mereka yang tanpa disengaja pertemanan itu terus berlanjut sampai akhir semester satu dikelas dua belas.
******
“Ketua kelas! Nih PR aku.”
Dhia langsung meletakkan buku tulisnya diatas meja belajar Dimas.
“Tolong diperiksa ya. Kalau ada yang salah dibenerin aja.”
Gadis itu tersenyum genit tanpa ada maksud apapun, yang hanya ditatap tajam oleh Dimas sambil membenarkan kacamatanya yang sedikit turun.
“ Ya ya. Bercanda kok. Tenang aja Dim punya aku gak ada yang salah kok. Semuanya benar dan tanpa rekayasa!”
Dhia mengacungkan kedua jempol usai merapikan tumpukan buku-buku tulis lainnya yang sedikit berantakan diatas meja Dimas. Sebenarnya tatapan tajam Dimas ditujukan atas ulahnya tadi yang menyerahkan buku tulis dengan sedikit tidak sopan kearahnya, namun dengan cepat menyadari maksud itu, Dhia pun terselamatkan dari ulahnya sendiri.
Tampak Sarah dari depan pintu kelas. Akhrinya terselamatkan. Tidak menunggu lama Dhia menghampiri sarah dan meninggalkan Dimas yang terlihat belum selesai dengan tatapannya.
“Hei Sarah. Udah selesai belum PR nya?”
“Kenapa?”
“Tuh ketua kelas nanya.”
“Bener Dim? Tenang. Kali ini PR nya selesai kok, dan bener-bener aku kerjain dirumah. D-i-r-u-m-a-h lho bukan dikelas.”
Sarah tersenyum bangga sambil berjalan kearah meja Dimas dan meletakkan buku tulisnya ditumpukan buku lain.
“Apa sih? Aku gak Tanya kok. Mau buat kah atau enggak kah itu urusan kalian.”
“Lah terus?... kamu Dhia?”
Dhia tertawa kecil. Cukup puas sudah berhasil mengerjai temannya itu.
Merasa sudah terbiasa, Sarah tak mempermasalahkan ulah Dhia. Gadis itu pun langsung berbalik dan berjalan menuju meja nya dengan raut wajah yang sedikit terlihat bingung.
Beberapa detik setelah duduk.
“Eh ngomong-ngomong, biasa aja dong Dim! Kalau kamu memang beneran gak nanya ya gausah sok gitu juga kali jawabnya.”
Lah kok tiba-tiba……
Dhia langsung menoleh kearah Sarah yang duduk disebelahnya. Suara kesal Sarah spontan memalingkan perhatiannya dan teman sekelas yang tampak belum ramai, termasuk si ketua kelas.
“Maksudnya?”Si ketua kelas Dimas.
“Kan bisa kamu jawab,‘Nah gitu dong..’atau ‘makasih’atau ‘hm.’ Atau apa kek basa-basi gitu.”
“Nah gitu dong. Makasih. Hm. Oke.”
Datar. Dimas mengulangi perkataan Sarah. Persis. Dan kemudian langsung berbalik kembali fokus ke buku pelajarannya.
Terdengar jelas beberapa teman lain tampak menahan tawa dengan respon Dimas, ditambah dengan gadis itu yang mulai memanas. Lengkap sudah.
“Waah ini anak benar-benar…”
Tak habis pikir gadis itu berdiri tanpa sadar. Dhia langsung menariknya kembali duduk.
“Udah udah”
“Masih pagi lho?”Lanjut Sarah.
“Siapa bilang siang.”Si Ketua kelas pun tak mau kalah.
“Ngejawab ya.”
“Lah kan ditanya.”
“Eh Dim. Mau kamu apa sih?"
“Nggak ada.”
“Udah mulai kesal nih!”
“Oh.”
Nggak bisa dibiarkan gitu aja nih.
Dhia langsung tertawa memecahkan suasana dan mulai melerai perdebatan kedua temannya itu.
“Ah kalian apaan sih berantem aja terus tiap hari. Nggak baik lho pagi-pagi dimulai dengan amarah nanti cepat tua. Terus kalian pikir teman-teman yang lain senang gitu dengar kalian berantem selalu? Dan yang lebih pentingnya lagi ni ya kalau kalian sering berantem—“
Dhia melirik Sarah dan Dimas bergantian yang mulai terlihat penasaran dengan lanjutan ucapannya sebelum akhirnya tersenyum geli dan mencoba menahan.
“Kalian bakal ber-JODOH! Iya berjodoh lho!”Dhia menaikkan suaranya di kata Jodoh yang membuat teman sekelas teralihkan.
“Wahh berita besar ni kalau kalian jadi pasangan! Dan kalian tau apa yang lebih pentingnya lagi? Aku yang bakal setuju-setuju banget sama hubungan kalian. Serius, percaya deh!”Antusias.
“Dhia. Apaan sih.”
“Benar lho Sarah. Kalian nggak tau ya pasangan yang pas itu ya seperti kalian ini. Yang setiap harinya Kalau ketemu berantam, tapi kalau gak gak ketemu… ya rindu.”
Dhia tersenyum geli dengan ucapannya sendiri. Melihat kedua temannya memerah dan mulai berhenti berdebat membuat Dhia senang telah menggoda Sarah dan si ketua kelas.
Terdengar sebagian teman lain juga ikut merespon. Ada yang memberikan selamat untuk melengkapi gurauan Dhia, ada juga yang hanya tertawa atau sekedar senyum saja. Dan di waktu yang sama pun terdengar jelas Dimas menahan tawanya.
“Pfft!”
Sarah sensitif dengan suara itu dan langsung menoleh kearah sumber.
“Kenapa kamu Dim. Senang banget gitu dijodohin sama aku?”
Mulai lagi deh.. Dhia menghela napas dan hanya pasrah.
“Siapa? Aku? Maaf ya nggak punya waktu.”
“Eh kamu pikir aku punya waktu gitu untuk mikirin dijodohin sama kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
You
Romance"Kamu. Ketika kamu tersenyum menurutku itu indah, ketika kamu tertawa menurutku itu kebahagiaan terbaru. kamu? Iya kamu. Kuharap kamu tersadar ketika aku menyapa dan ingin mengenalmu.."