coklat pahit

7 0 0
                                    

"Maaf. Sudah lama ?"
"Tidak lebih lama dari joging 50 putaran di taman ini."
"Hah?", Dia menoleh, lalu sudut bibirnya terangkat. Bila orang lain yang melakukan itu pastilah sedang tersenyum, tapi jika dia yang melakukannya, aku tidak yakin itu sebuah senyum atau seringai jahat.
"Aaa.. Iya, Maaf membuatmu menunggu."

Aku duduk tak jauh darinya, namun juga tidak dekat, sedikit berjarak. Selama 5 menit kami hanya membisu. Tak ada yang memulai pembicaraan, kami sama-sama menyelami kenangan yang tersisa dari tempat ini, menyusuri cerita 2 tahun ke belakang saat tempat ini menjadi tempat paling bermakna dari semua tempat yang pernah kami temui. Bagi orang lain tempat ini hanya taman biasa, tak ada yang spesial dari sebuah taman kecil dengan satu gazebo bobrok di sisi kiri taman ini. Tak banyak bunga, juga tak banyak kursi dan lampu taman, hanya ada 3 lampu dan 2 kursi panjang yang juga mulai lapuk di makan waktu. Namun, bagi 2 manusia yang tenggelam dalam lautan kenangan, taman kecil ini adalah bagian penting dalam perjalanan hidupnya.

"Kamu masih suka makanan manis?"

Suara tegas itu membuyarkan semua lamunan ku. Aku menoleh, dia sedang menatap kantong kecil ditangan ku yang berisi beberapa batang coklat dengan berbagai ukuran.

"Ah, iya. Mau coba?"
"Tidak."

Ah, aku lupa. Dia memang tidak pernah menyukai coklat dan makanan apapun yang terlalu manis. Ternyata belum berubah dan mungkin memang tidak akan berubah. Aku masih ingat betul, dulu kita pernah berkeliling kota seharian penuh, mulai dari menjelajahi pusat perbelanjaan, toko buku, pasar cemilan, dan berakhir di taman kota. Hari itu dia marah besar, hanya karena masalah sepele. Seharian itu, aku hanya membeli makan dan minuman manis, tidak banyak hanya dua minuman ice coklat, satu cup churros rasa coklat, juga satu cup ice cream coklat. Itu semua tidak aku beli dan makan secara bersamaan. Banyangkan saja seharian jalan-jalan tenggorakan ku butuh penyegaran, perut ku juga butuh di isi. Awalnya dia biasa saja saat aku membeli satu minuman ice coklat, lalu aku membeli satu cup churros coklat dia juga masih biasa saja. Lalu saat ice coklat dan churros ku sudah habis dan kita sudah berpidah ke beberapa tempat, aku membeli ice coklat lagi. Dia mulai diam, dan puncaknya saat kami sudah di Taman Kota. Aku terpikat satu cup ice cream coklat yang ditaburi berbagai macam toping, aku tidak bisa menahan itu dan tentu saja aku membelinya. Dari sana dia marah besar. Untungnya dia tidak sampai membuang ice cream ku hehe.

Sebenarnya sampai saat ini, aku tidak permah tau apa alasannya dia membenci makanan yg terlalu manis. Aku kira hanya persoalan selera, tapi sepertinya lebih dari itu.

"Jadi, ada apa sampai memanggilku ke sini?"

Semalam, tiba-tiba dia menghubungi ku mengenai pertemuan ini.

"Lusa, aku mulai perjalanan ku ke Paris."
"Ah, Paris yaa"

Paris adalah Negara yang sedari dulu dia cita-citakan. Katanya dia ingin sekali tinggal di sana, berkeliling Paris sampai hafal jalanan disana atau paling tidak berlibur di sana selama satu bulan. Ambisinya ternyata bisa dia wujudkan tahun ini.

"Setelah mengikuti pendaftaran magang dan kerja, dua minggu yang lalu ada kabar bahwa aku diterima bekerja disana."
"Selamat ya, cita-cita mu bisa tinggal di Paris bisa terwujud juga."

Aku tau ini akan terjadi suatu hari nanti, tapi tidak pernah terbayangkan bisa terjadi secepat ini. Dia memang gigih dalam mengejar apa yang dia inginkan, dan aku percaya ini semua karena kerja kerasnya.

"Daripada coklat manis itu, lebih baik ini saja."

Dia mengambil coklat-coklat di tangan ku, lalu mengulurkan satu batang coklat yang ukurannya lebih besar. Dari kemasannya aku tau ini bukan coklat manis, sebab aku sudah tau semua jenis coklat manis di seluruh kota ini.

"Coklat itu lebih baik dari semua coklat yang kamu punya."
"Ini coklat pait kan?"

Dia berdiri dari duduknya.

"Setidaknya coklat itu tidak akan terlalu merusak tubuh mu."
"Aku tidak suka jenis coklat ini."

Tanpa berkata lagi, dia mulai melangkah. Baru saja 3 langkah, dia menoleh lalu memutar badan dan menatap ku.

"Aku hanya ingin memastikan satu hal."
"Hm? Soal coklat?"
"Bisakah kamu menemaniku di Paris?"

Aku terpaku, tak bisa berkata apapun. Apakah telingaku tak salah mendengar? Atau dia yang salah bicara?

"Kamu tak salah dengar dan aku tidak salah bicara."

Aku semakin heran, dia masih seperti cenayang ternyata. Selalu bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan.

Dia melangkahkan kaki ke arah ku, tepat satu langkah di depan ku dia berhenti.

"Wajahmu selalu mengekspresikan apa yang ada dalam pikiranmu. Aku kira tidak akan bisa membaca ekspresi wajahmu lagi."

"Eu.., benarkah? Ahaha, begitu ya", sudah ku bilang lidahku sedang kaku mendengar apa yang dia katakan sebelumnya, ditambah lagi jarak antara antara aku dan dia yang menurutku ini terlalu dekat. Ya Tuhan!

"Bisa menemaniku di Paris?"

Aku mundur perlahan, seperti di tembak tepat di kening. Aku masih tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya.

"Kamu ingat? Dua tahun yang lalu, aku sengaja membuatmu membenciku. Aku memang berniat menyudahi hubungan diantara kita, tapi dengan baik-baik." Dia melangkah, kembali ke gazebo dan duduk di tempatnya semula. Refleks aku pun kembali terduduk.

"Rencanaku tidak berjalan lancar. Kamu salah paham karena melihatku akrab bersama dengan perempuan lain yang adalah saudara perempuan ku."

Aku menoleh ke arahnya.

Ya. Dua tahun yang lalu, saat hubungan aku dengannya mulai merenggang. Kita sama-sama sibuk dengan dunia baru pasca wisuda, mencari pekerjaan, lamar kesana kemari. Lalu aku pun sibuk dengan masalah keluarga yang makin pelik tiap harinya. Dia semakin sibuk, aku semakin pusing dengan semua permasalahan keluarga ku. Komunikasi diantara kita semakin berkurang. Aku masih percaya padanya, aku masih yakin bahwa dia masih menyayangiku, aku yakin bahwa dia juga mengerti situasiku saat itu.

Namun, saat masalah keluargaku semakin memuncak, ayah yang selalu memukuliku, ibu dan juga adik-adikku semakin menjadi-jadi. Bahkan, sampai hampir membunuh adik bungsuku. Ayah orang yang baik, penuh kasih sayang dan perhatian, tapi semenjak ditipu sahabat dekatnya yang kabur dengan uang investasinya, Ayah mulai berubah. Awalnya sensitif dan mudah marah karena hal sepele, lalu mulai memukuli ibu setiap kali dia marah, aku mencoba melerai saat ayah memukuli ibu, tapi itu menjadi menyulut kemarahannya. Aku berusaha kabur bersama ibu dan kedua adikku dari rumah yang lebih terasa neraka itu. Aku berusaha mencari kontrakan kecil dengan sisa tabungan ibu yang sempat ibu bawa sebelum kami keluar rumah.

Saat semua kepelikan yang aku alami, aku bermaksud bertemu dengan dia, menceritakan semua yang aku lalui juga kondisi ku saat ini. Tapi, saat aku hampir sampai di rumahnya, aku melihat dia sedang berjalan dengan akrabnya bersama seorang perempuan cantik. Detik itu juga aku merasa dicampakkan.

"Itu memang salahku. Saat itu harusnya aku meluruskan semuanya, tapi aku memilih membiarkanmu pergi."

"Boleh aku tau kenapa?"

"Karena aku sudah berencana melepasmu. Aku ingin mempersiapkan cita-citaku tentang Paris, aku akan semakin sibuk dan aku tak bisa membiarkanmu selalu menunggu kabarku. Aku berencana melepasmu, untuk aku jemput kembali."

"Lalu? Saat ini adalah waktu untuk menjemputku?"

"Aku rasa ini waktu yang tepat."

Batinku tertawa sekaligus meringis. Memang dia pikir aku ini apa?

"Kamu salah. Apa yang sudah kamu lepas tidak bisa kamu ambil kembali."

Aku berdiri, lalu mengambil coklat-coklat manisku dari tangannya dan mengembalikan coklat pahit yang dia berrikan.

"Coklat itu tidak akan lebih pahit dari semua yang sudah aku lewati. Aku tau, perjuanganmu juga tidak mudah. Tapi bagiku, apa yang sudah aku lepas tidak bisa aku raih kembali. Semoga kamu menemukan wanita yang menyukai coklat pahit dan bersedia menemanimu mewujudkan semua cita-citamu tentang Paris."

cerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang