Ini adalah kali pertama Juni menginjakkan kakinya kembali ke rumah. Banyak yang telah berubah dari rumah ini. Mulai dari sofa hingga wallpaper telah berganti dengan suasana lebih cerah. Namun bagi Juni rumah itu tetap nampak suram.
"Juni? Kamu pulang Nak?" Suara seorang wanita dewasa menyapanya.
"Mama," suara bocah kecil yang berada dalam gendongan wanita itu juga turut menyapanya.
"Ada yang ingin aku ambil." Juni berlalu begitu saja melewati keduanya.
Wanita itu tertunduk lesu, ia adalah Mama Juni, Pertiwi. Tiwi merasa ini semua salahnya. Jika dulu ia tidak bodoh dengan mencoba bunuh diri, maka Juni tak akan pergi ke tempat istri muda ayahnya untuk melampiaskan emosinya. Dia juga tak akan mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang yang belum diketahui hingga berujung melahirkan seorang anak laki-laki dalam gendongannya ini, Kalandra Adhitama.
Beberapa kali Juni mencoba melukai diri setelah peristiwa pemerkosaan yang dialaminya hingga dokter menyatakan bahwa dirinya hamil. Hilang sudah semua mimpinya. Beberapa kali pula Juni berusaha menggugurkan anaknya, namun tak pernah berhasil. Peristiwa beruntun yang menimpanya, membuat Juni merasakan trauma hingga membenci ayah dan anaknya sendiri. Tak ada lagi Juni yang ceria seperti dulu. Hingga beberapa hari setelah melahirkan, ia memutuskan untuk tinggal sendiri jauh dari lingkungan keluarganya. Mencoba menyembuhkan lukanya, menjauh dari bayangan masa lalu.
***
"Kamu mau pergi lagi Jun?" Tiwi menghampiri Juni setelah menidurkan Andra dikamarnya.
"Iya." hanya jawaban singkat yang Juni berikan.
Saat Juni melangkah, Tiwi menahan tangannya.
"Mama kangen kamu, Juni." Perlahan airmata menetes dari mata Tiwi melihat putrinya bersikap semakin dingin.
"Juni belum benar-benar sembuh, Ma. Juni nggak mau melukai Mama." Juni melepaskan tangan yang semula ditahan oleh Tiwi, kemudian melanjutkan langkahnya.
Meninggalkan rumah, Juni melangkah menuju taksi online yang sudah dipesan sebelumnya. Sepanjang perjalanan, bayang-bayang masa lalu kembali hadir dalam ingatan Juni. Sepertinya, terapi yang dia jalani selama ini belum membuahkan hasil, karena rasa sakit itu masih terasa ketika Juni mengingat semua lukanya.
***
Hari semakin larut ketika Juni sampai tempat kos nya. Kamar yang semula gelap, menjadi terang ketika pemiliknya tiba. Kosong, itulah yang Juni rasakan. Menggantungkan tasnya, Juni kemudian bergegas membersihkan diri sebelum ia putuskan untuk tidur.
***
"Siapa kamu? Kenapa aku ada disini?" Juni membuka mata setelah tak sadarkan diri.
"Kamu nggak perlu tahu siapa aku. Karena ayahmu, aku kehilangan semuanya!! Dia merebut semua dariku! Akan aku buat ayahmu merasakan hal yang sama denganku!" perlahan pria itu mendekat pada Juni dengan menampilkan seringaian.
"Apa yang mau kamu lakukan? Jangan mendekat!" Otak Juni mengirimkan sinyal untuk menggerakkan badannya yang terikat agar menjauh.
"Aku hanya akan menyiksa ayahmu, membalaskan sakit hatiku melalui kamu! Diam dan menurutlah." Pria itu mencekal kaki Juni dan menariknya mendekat.
"Jangan! Jangan lakukan apapun. Aku tidak mengenalmu!" Juni menggerakkan badannya untuk melawan.
"Diam!!!" Pria itu menampar kuat pipi Juni hingga kepala Juni menoleh ke samping dan sudut bibirnya berdarah.
Tanpa banyak bicara, pria tersebut menyiksa serta memaksa membuka pakaian Juni yang terus meronta.
"Tolooong!!! Tolooong!! Jangan! Jangan lakukan ini!" Juni semakin meronta dalam penguasaan pria tersebut.
"Tak akan ada yang mendengarmu!" Pria itu kembali menampar nya.
Juni tetap meronta berusaha melepaskan diri, Namun tenaganya terbuang percuma. Pria ini lebih kuat darinya. Hingga akhirnya mahkotanya terkoyak tanpa ampun. Juni merasa seakan nyawanya ikut tercabut mengetahui ia kalah melawan pria yang kini menghujam tanpa ampun pada inti tubuhnya.
***
"Aaaaarrggghh!!!" Juni berteriak dengan mata yang masih terpejam, Bergerak gelisah serta keringat yang mulai membanjirinya.
Tok!! Tok!! Tok!!
Pintu kamarnya diketuk tidak sabar dari luar, membuat Juni seketika terbangun dari mimpinya. Mimpi yang kini semakin sering datang menghampirinya sejak ia pulang dari rumahnya.
Menghapus keringat diwajahnya, Juni berusaha menetralkan ekspresinya sebelum membuka pintu kamar. Setelah dirasa tenang, dia kemudian berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang mengetuknya.
"Kak Juni kenapa??" Suara Fara langsung menyapa indra pendengaran Juni.
"Nggak apa-apa Fara. Emang ada apa?"
"Kakak tadi teriak. Teman-teman masih belum kembali, Fara takut ada apa-apa sama kakak." Fara menunjukkan raut khawatir.
"Aku nggak apa-apa Fara. Cuma lagi asyik nonton film horor terus ada adegan yang bikin kaget." Juni berusaha meyakinkan Fara dengan membuka lebar pintu serta menunjukkan laptop yang terbuka dengan posisi membelakangi mereka. Laptop yang Juni nyalakan sebelum kemudian dia tertidur.
"Beneran Kak?" Fara memastikan sekali lagi.
"Iya. Sudah ya, kamu istirahat aja. Udah tengah malam ini, aku juga mau tidur." Juni menutup rapat pintunya setelah memastikan Fara kembali ke kamarnya.
Kenapa mimpi itu semakin sering datang? Apalagi yang harus aku lakukan? Juni terduduk di balik pintu menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni Tanpa Mimpi (END)
RomanceCover by @henzsadewa Kejadian beruntun yang menyisakan trauma masa lalu,membuat seorang perempuan tak lagi ingin memiliki mimpi. Hingga dia dipertemukan kembali dengan seseorang yang telah menorehkan luka di masa lalunya. Mampukah trauma itu terobat...