Jika awalnya kupikir observasiku sudah setengah jalan, ternyata aku salah besar. Kehidupannya bukan hanya sekadar soal matematika atau menggoreng telur lalu teflonnya ia buang dari lantai atas. Ada banyak hal yang terlewatkan. Ironisnya, aku selalu menganggap diriku sebagai orang yang teliti.
Aku seperti sudah larut pada asumsiku sendiri. Menganggap Singto sudah begitu sempurna hingga hampir tak ada celahnya. Mungkin celah yang kuharapkan di sini adalah sikap dia yang ternyata berengsek dan hobinya main wanita.
Sebenarnya aku juga tak menganggap masa lalunya sebagai celah. Sama sepertiku, aku melihat memori tersebut sebagai apa yang telah membentukku. Toh, yang lama tak bisa diubah. Tapi aku bisa menghentikan orang untuk mengalami hal yang sama sepertiku.
"Awalnya gak paham kenapa dia suka ambil gambar aku diem-diem. Dia bilang dia belum pernah punya anak, jadi pengen tau gimana rasanya motret anaknya." Ujar Singto yang kini merebah di pahaku. "Aku sih percaya aja, namanya juga bocah SMP."
Ia lanjut bercerita, "Tapi makin ke sini sikapnya makin parah. Dia suka masuk ke kamar kalau malem, pegang-pegang. Geli asli kalo diinget."
"Iya, gak usah diceritain."
"Terus suatu hari aku pinjem handphone-nya dan gue gak sengaja liat foto gak jelas temen-temen sekolah. Tau kan maksudnya?" Aku mengangguk. "Dan pas mau ngadu ke ibu, dia malah— do something really brutal to me."
Singto mulai terbata seakan tak bisa lagi melanjutkan kalimatnya. Aku juga ikut emosional. Tahu betul betapa sulitnya menggali lagi apa yang seharusnya terkubur dalam memori. Melupakan seperti jadi pilihan utama mengingat betapa jahatnya dunia yang kerap memandang sebelah mata.
"Jangan dipaksa."
"Dan dia rekam semua kejadian itu, gak tau gimana caranya. Dan video itu yang jadi senjata biar aku gak bisa ngelawan dia." Balasnya sambil tesenyum pedih. "Di sekolah aku jadi budak, di rumah juga gak jadi ada bedanya."
Aku mengelus jemarinya lembut, "Tapi sekarang kakak udah tinggal sendiri kan?"
Kemudian ia tidak menjawab lagi pertanyaanku.
"Sorry ya, Kit, waktu itu aku sempet ngilang." Singto memalingkan wajahnya. "Rasanya gak pantes aja buat ketemu kamu. Aku selalu ngerasa kotor kalau habis muasin orang yang nafsunya kayak binatang."
Seketika aku teringat pada gosip hangat di kelas kala ia menghilang waktu itu. "Chloe— tapi waktu itu kakak sama dia ke apartemen kan?"
"Chloe juga sama aja kayak aku nasibnya." Ia mengambil rokok terakhir dari sakunya.
Dengan sigap kuambil rokok yang akan dibakar itu, "Udah berapa batang hari ini?! Udah ah!"
"Ih, posesif." Goda Singto. "Padahal tadi siang marah-marah."
Wajahku seketika terasa panas. Geli dalam perut juga mulai muncul. Astaga, sudah berapa lama aku tak merasakan ini? Hampir lupa rasanya setelah akhir-akhir ini hubunganku dengan Singto isinya hanya saling berteriak dan air mata.
"Aku sama Chloe tuh gak ada apa-apa, sumpah. Iya emang kita pernah sekasur buat muasin si jelmaan anjing itu." Ia menaruh tangannya ke pipiku. "But I love you so much, Kit. Meski aku tahu ini beresiko. Gak cuman buat aku, tapi buat kamu juga."
"M—maksudnya?"
"Video itu." Entah mengapa bulu kudukku tiba-tiba merinding. "Gak tau, tapi feeling aku sih itu emang dia yang nyebarin."
Langit seakan runtuh. Jika bukan Chloe, lalu siapa yang mengirim pesan singkat itu kemarin? Apa benar itu kepala sekolah? Mana mungkin! Buru-buru kuambil ponselku, melihat kotak pesan yang belum sempat terhapus. Tanganku gemetaran menunjukkan isi pesan itu ke Singto.
"Terus ini siapa?"
"Kit." Langusng ia membaca isi pesan itu. "Kenapa kamu gak bilang aku sih?"
"Ya kan awalnya kukira ini Chloe."
"Chloe aja gak tau kamu."
"Abisnya dia bilang 'jangan ganggu milik saya' gitu." Protesku.
"Fuck!" Singto langsung beranjak duduk lalu mengacak-acak rambutnya. "Then, it must be him."
------------------
Author's Note :
Halo! Gimana nih? Udah berasa diombang-ambing belum? Sorry deh kalau Author suka jahat banget sama kalian para pembaca. Tapi sedep perihnya kerasa kan?
Atau malah kurang? Waduh.
Kalo kata si anon mah 'just wait and see' .
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanfictionSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...