Judul : Kisah Dua Cahaya
Karya : Azzahra Kencana
-(sebuah cerpen)
.
.
.
.
.
.
.
.Berbagai kitab yang menulis tentang negeri diujung pelangi tidak lebih dari sekedar palsu belaka. Menjadi dongeng turun temurun dari masa lampau yang tak berujung maupun pangkal. Tak ada yang membenarkan, meski tak ada yang menuntut pembenaran. Toh pada akhirnya mereka hanya akan menjadi lelucon bagi para penghuni kaki langit. Tempat dimana para iblis dan malaikat bisa bersama dalam waktu yang sementara, selama bumi bermandikan derasnya hujan.
"Aku tidak pernah berhenti berpikir bahwa kau sangat bodoh, Aurie." Suara itu memecah keheningan tempat yang dihuni oleh dua makhluk yang berbanding terbalik. Entah bagaimana, untuk hari ini, Lux yang memilih berada dihadapan Auriel yang masih sibuk memutar sumber cahaya dari kedua tangannya.
Aurie, dengan rambut keemasannya yang berkilau bagai matahari terbit di cakrawala, ia mendongak pada makhluk yang mengambil duduk disebrang kursinya. Sebagaimana para malaikat, senyum tercetak di bibirnya. Ketenangan terlukis di sepasang matanya yang seindah samudera yang kini menatap Lux dalam. Sebelum perhatiannya kembali pada aktivitas yang ia lakukan. Meski tak menahan dirinya untuk mengutarakan pikiran yang mengganggunya.
"Kukira kau takkan kembali kemari, Lux." Ujar Aurie pelan. Tak nada nada berarti dalam suaranya walaupun sebenarnya mereka tak pernah berada dalam tendensi baik. Hanya sekedar keadaan yang memastikan kaki langit ini takkan hancur menaungi mereka berdua.
"Ohh.. Seharusnya memang tidak. Aku hanya ingin melihat bagaimana kau bertahan dengan omong kosongmu ini. Menjadi malaikat pasti sangat melelahkan dengan melihat apa yang kau lakukan terhadap para manusia itu atas nama Tuanmu." Jawab Lux ringan. Tak ada beban apapun yang mengganggunya ketika ia secara terang-terangan menghina Aurie. Seolah ia tahu, tak ada yang Aurie bisa lakukan karena ikatannya pada Tuhan maupun fakta bahwa baginya, Aurie sama bodohnya dengan kaki tangan yang lain.
Mau bagaimanapun, Lux benar tentang sebagian hal yang ia utarakan dalam benaknya. Aurie masih tetap dengan ketenangan dalam raut wajahnya. Masih dengan wajah yang seolah konstruksinya diciptakan untuk menampilkan kebaikan hatinya. Tak ada rasa terganggu dengan apa yang keluar dari sepasang bibir Lux yang mampir ke telinganya.
"Apa kau sedang menghindari fakta bahwa kau tak lagi mampu menggoda mereka, Lux? Kudengar para malaikat mulai menyanjung keimanan mereka."
Lux terkekeh pelan mendengar penuturan Auriel. Seolah apa yang ia katakan adalah hal yang lucu. Membuat Auriel meliriknya untuk sekejap. Sedang Lux masih duduk tenang dalam keangkuhannya.
Lantas Lux kembali bersuara melanjutkan jawabannya, "Berhentilah menjadi seorang hipokrit Auriel. Bukankah seharusnya kau pun tahu bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang hina?" Lux berkata seraya menatap kearah kuali berisikan hujan yang diturunkan ke bumi. Benda yang membantu rintik hujan itu turun mengunci tempat mereka berada.
"Mereka tidak benar-benar butuh digoda untuk berbuat dosa. Mereka hanya membutuhkan kami untuk membantu ras mereka yang membutuhkan kambing hitam. Aku akui aku sedikit tidak paham dengan apa yang kalian sembah padahal ia bahkan menetapkan manusia sebagai makhluk yang mulia. Bukankah seharusnya kalian tertawa pula bersamaku karena kalian bahkan ikut mempertanyakannya di permulaan?!" Ejek Lux.
Auriel terusik, itu sesuatu yang tak bisa ditampik karena Lux bisa melihatnya mengangkat wajah dari apa yang ia kerjakan. Menatap Lux lurus dengan sepasang matanya yang kini tersapu semilir angin yang membawa ombak. Formasi senyum diwajahnya tak berubah signifikan meski kini aura bahagianya perlahan hilang. Hanya cahaya yang kini mengitarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Dalam Kata
PoetryKumpulan rasa yang dituangkan dalam bentuk kata dari benak anak manusia. Seperti perasaan manusia, tak ada konteksnya. Ia hanya hadir disaat rasa itu terlalu penuh mengisi. Bisa dalam bentuk senyum bahagia. Bisa dalam tangis karena luka. Terdenga...