Juli, 2019
Oh—kayaknya baru kemaren banget ngeberesin hasil sibuk-sibukan selama sebulan penuh tanpa pulang ke rumah dengan tenang, tidur nyenyak, mandi enak, makan lahap dan jalan napak. Hari ini hari kedua di bulan Juni, masih dalam keadaan tentram didalam selimut, diatas kasur empuk, berlatarkan suara burung dan cahaya matahari yang masuk dengan hati-hati.
Ini baru namanya nikmat.
Enggak ada telepon, enggak ada suara sms, enggak ada panggilan mendadak deh pokoknya. Fase yang kayak gitu emang akan selalu berhasil dilewatin, seberat apapun dijalani, serewel apapun keluhan yang keluar, atau sekeras apapun pengen lari dari realita yang ngebanting diri sendiri. Lama-lama, tulang juga bisa patah walaupun di banting sepelan dan sesering yang hampir sebulan itu, lho.
Tapi, lama-lama di kasur juga bosen.
Difal akhirnya bangun. Keluar kamar, terus menemukan saudara dan saudari nya masih numpuk diatas kasur lapis dengan selimut tebel ditambah televisi yang nyala. Kegiatan pagi hari yang sempat hilang dari rutinitas manisnya. Terakhir begini sekitar tiga bulan yang lalu, sebelum ujian dan kegiatan Pasar Seni kemaren.
Dan waktu bener-bener berlalu dengan menciptakan beberapa dampak, seperti potongan-potongan yang saling berkesinambungan membentuk seluruh kejadian di alam semesta. Entah ini akan membawanya mendekat atau malah membuatnya makin jauh dari tujuan awal.
"Difal,"
Malam itu, setelah perayaan terakhir Pesta Seni beres, Difal yang lagi duduk diatas kursi panjang, sambil liat-liat catalog cewek di hape canggihnya, Kala dateng, duduk disampingnya.
"Kenapa Kal?" cewek itu masih belum sadar sama perubahan wajah Kala, tepatnya masih ngeliatin hape dan enggak berniat mengganti perhatiannya sejenak.
"Difal kalo ada apa-apa tuh cerita dong ke Kala."
Baru setelahnya, Difal beneran noleh terus sadar kalo air muka cewek disampingnya lagi kenapa-kenapa.
"Pasti, Kal. Lo kenapa, sih?"
"Gue merasa lo banyak menyembunyikan sesuatu ke gue."
Difal ngerutin dahi. Heran, dong, langsung di arahin pedang kayak begini.
"Gue enggak ada sesuatu yang disembunyiin ke lo kok."
"Bener?"
Difal mengangguk. Yakin 100%.
"Kalo ada apa-apa langsung cerita, ya?"
"Pasti. Aku pasti bakal langsung cerita."
Kala, bertanya seperti itu, pasti dengan ketakutan berdasar. Ketakutan yang dia bentuk bukan terhadap sesuatu yang bakal dia hadapi, tapi pada apa yang setelahnya bakal terjadi. Dan sejauh ini, Difal enggak punya alasan untuk menceritakan banyak hal. Dia terlalu lelah dengan bebannya sendiri dan enggak bisa ngebayangin kalo membagi bebannya ke Kala.
YOU ARE READING
GANESHA
FanfictionHiruk pikuk perdebatan, antusiasme program kerja, wajah komedi anak muda, perjuangan titik darah penghabisan, perbandingan terbalik realita dan ekspektasi, sisa-sisa hasil kekecawaan, obsesi jatuh dan cinta, prosa romansa, dawai beraestetika, tekana...