Bismillahirrahmanirrahim
***
Sebagian orang meyakini, memiliki mimpi seperti memeluk sebuah kepercayaan. Ia yang menuntunmu, lurus pada satu tujuan yang jelas. Walau sebenarnya, sebuah mimpi juga dapat merusak hidup manusia. Mereka lupa, karena obsesi meraih lebih besar daripada kesadaran mengingat siapa yang memberikan mimpi itu pada mereka.
Aku bertahan cukup lama di tempat ini. Duduk menunggu sembari melirik jam di pergelangan tangan, tak jarang juga bermain-main dengan burung gereja yang mampir di pinggiran kolam air mancur untuk menghilangkan rasa bosan.
Beberapa detik berlalu, hingga orang yang kutunggu pun akhirnya datang. Wajah putihnya nampak pucat, sementara rambut pirangnya acak-acakan. Melihat dari deru napasnya yang tak beraturan, kuyakini gadis berdarah Rusia ini baru saja melakukan lari maraton dari stasiun bua terdekat."Buenas tardes!" ucapnya begitu sampai di hadapanku.
Oxana masih menunduk untuk mengatur napas, lantas mengatur kembali lilitan syal di lehernya. Musim dingin memang sudah berlalu, tapi suhu udara di Kota Kordoba belum kunjung menghangat.
"Buenas tardes, Oxana." Aku menipiskan bibir, sementara kedua tangan masing-masing kujejalkan pada saku mantel. "Kau ketinggalan bus lagi hari ini?"
"Oh, ayolah," serunya dengan ekspresi kesal. "Kau mengatakan itu seolah-olah aku sering sekali terlambat."
Aku tentu tak bisa untuk menahan tawa. Karena nyatanya, gadis yang selama tiga hari menemaniku berkeliling ini memang sering kali terlambat. Padahal, ia harus menjaga reputasinya sebagai guide terbaik jika tak mau dipecat dari pekerjaannya.
"Ingin pergi ke mana hari ini, sebelum aku mengantarmu mencari tempat berbuka?"
Ponsel yang bersemayam nyaman di kantung mantel kuberikan pada Oxana. Di layar pipih itu, menampilkan gambar cantik sebuah jembatan yang menjadi saksi bisu perkembangan islam di tanah eropa. "Puente Romano, bisakah kau membawaku ke sana?"
"Ah, ini tidak terlalu jauh!" ujarnya dengan semangat. Bisa kutangkap rasa senang dari binar yang terpancar di kedua irisnya yang kebiruan. Sementara aku hanya dapat mengulum senyum melihat tingkah laku Oxana yang menggemaskan.
Andalusia, adalah kota yang pernah menjadi mimpi orang itu. Menjadi salah satu alasan yang menegaskan jika kami harus berpisah demi mimpi masing-masing. Meninggalkan sejenak kebersamaan yang menjadi kenangan tiap waktu.
Andai kami berpisah dengan wajar, mungkin aku tak akan jauh-jauh pergi dari Tokyo ke Kordoba begitu sensei mengatakan jika tugas akhirku diterima dengan nilai kelulusan yang memuaskan. Mungkin, aku masih di Osaka sekarang, menikmati bulan Ramadhan terakhir di Jepang sebelum kembali ke Indonesia untuk mengabdi.
Sayangnya, perpisahan yang tak pernah kuinginkan itu malah terjadi. Ia meninggalkan sebuah amplop coklat yang diikat tali kecil nan tipis. Menitipkan pada salah satu teman sekamarnya—Azri—saat acara pelepasan berakhir.
Satu yang kuharap dari perjalanam ini adalah, jika pada akhirnya kami dapat bertemu kembali. Dengan atau tanpa perasaan yang sama lagi.
***
A/N:
Buenas tardes: Selamat sore.
Sensei: GuruHola! Assalamu'alaikum. Masih ingatkah kalian denganku? Hehe
Alhamdulillah, akhirnya kita bersua kembali ya. Ini adalah pengalaman keduaku menulis di akun swp_writingproject, walaupun sudah kedua kalinya. Deg²annya masih sama kaya dulu 😂
Mari tebak, kisah siapakah yang akan kubawakan kali ini? Anggota Geng Micin yang paling terakhir nongol. Hihi.
Kalian bisa mengenal dia lebih jauh di akun IG: @calonistriustazfahri
Btw, aku kangen bisa ngobrol sama kalian di akun swp ini. Hehe, semoga bisa terus bersua sampai ending cerita ASA!
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
KAMU SEDANG MEMBACA
ASA [TERBIT] ✔️
ДуховныеBISA DIPESAN DI SHOPEE: lumiere_publishing ******* "Jika roketku berhenti, akankah semua bintang yang kubawa terhempas ke bumi?" Meda pernah memiliki harapan seluas angkasa Ia sudah menyiapkan mimpi hingga prosesnya, runtut seperti rumus matematika ...