Lonely
PART : 21•••
Kepercayaan.
Satu kata, yang berperan penting dalam kehidupan.
Robeklah satu halaman bukumu. Genggam hingga kusut, lalu coba luruskan kembali hingga persis seperti sebelumnya. Apa itu berhasil?
Tidak. Kertas itu akan tetap kusut.
Begitu juga dengan kepercayaan. Sekali hal itu pernah rusak, tidak mungkin bisa kembali seperti dulu. Rasanya berbeda, akan tetap ada setitik keraguan di dalam ketika seseorang mematahkan kepercayaanmu.
Yang Suji ingin tahu, adalah 1 hal;
Kenapa Taehyung tidak mempercayainya?
Tidak, Suji tidak pernah menyesal. Semua yang dia katakan pada Rose memang pantas. Dia tidak salah. Suji hanya melakukan pembelaan. Wanita itu yang memulai segalanya, datang menghinanya sebagai pengganggu, bahkan berkata bahwa dia egois. Omong kosong, jelas-jelas semua orang juga tahu siapa yang egois diantara mereka.
Perlahan, Suji mulai menyadari satu hal.
Disaat semua terasa membaik, selalu ada hal yang merenggutnya. Kenapa? Apa Suji memang terlahir untuk sendiri? Apa dalam garis takdirnya, dia memang tidak pantas merasa bahagia?
Rose mungkin benar. Dia pengganggu.
Dia sebaiknya mati. Suji ingin mati.
__________
"Suji-ah?"
Suji melirik. Didepannya, Zeyu duduk dengan tangan terlipat diatas meja. Mereka di depan gerai eskrim tutup, yang terletak di taman kota. Tersedia dua pasang kursi dan meja bundar diantaranya. Tidak ada yang dilakukan.
Zeyu diam, menatap, menunggu.
Sementara Suji menutup wajahnya dengan tangan, menangis tersedu-sedu.
Zeyu tidak bertanya apapun. Dia hanya diam dan mengikuti saat gadis itu bilang ingin ke taman. Dia hanya diam dan menyaksikan saat gadis itu menangis dengan suaranya yang menyerpih. Ketika gadis itu bilang ingin ditemani, yang dia rasa paling tepat, adalah disampingnya.
Zeyu mengeluarkan sapu tangan dari saku jaket. "Usap air matamu." Ujarnya pelan.
Suji menatapnya dengan mata memerah. Ada diam yang cukup lama, sebelum dia menerima sapu tangan itu dan mengusap lelehan air mata di sepanjang garis pipi.
"Mau cerita?"
Perempuan itu bungkam. Zeyu memandang dengan dengan teduh. Dia meraih tangan Suji, menggenggam. Hangat.
"Tidak apa, jika tidak mau cerita." Ada senyum di bibirnya. "Namun aku disini Suji, jangan memendam rasa sakit sendiri. Berbagilah denganku."
Suji diam. Bibirnya bergetar menahan tangis. Setitik air mata lolos melewati pipi. Ada rasa haru di relung dada, mengetahui kalau dia tidak benar-benar sendiri. Zeyu ada disini. Bersamanya, menggenggam tangannya, disisinya.
Petir menyambar sangat keras. Keduanya tersentak kaget, bersama dengan hujan yang turun deras. Zeyu menarik tangannya menuju salah satu teras toko tutup. Mereka berteduh disana.
"Sebaiknya kita menunggu disini hingga hujan reda."
Suji mengangguk tanpa suara. Keduanya diam dengan posisi berdiri berdampingan. Jalanan sepi. Nyaris tak ada kendaraan dan orang yang berlalu-lalang. Ada keheningan yang mencekam. Zeyu menggosok kedua telapak tangan, berharap mendapat secuil kehangatan dari itu.
"Zeyu-ah," Suji memanggil pelan. Suaranya bergetar, diantara derasnya hujan. Pandangan kosong ke depan. "Katakan padaku, apa aku pantas hidup?"
Zeyu terhenyak. Pertanyaan itu jauh diluar dugaannya. Berbalik, dia menatap Suji dengan sedikit senyum, "Apa yang kau bicarakan? Tentu kau pantas. Kau cantik, dan berbakat."
Suji berbalik, pandangan mereka bersibobrok.
"Kalau begitu, sekarang katakan padaku. Apa aku berhak bahagia?"
Zeyu diam beberapa saat, dia menjilat bibir sebelum mengangguk. "Ya, tentu kau berhak."
"Lalu kenapa aku tidak pernah merasa demikian?"
Zeyu bungkam.
"Aku tidak kenal dengan bahagia. Kesepian merenggut segala tempat di hidupku. Rasa sedih menguasai ragaku. Disaat aku berpikir segalanya akan baik-baik saja, nyatanya aku hancur di dalam sana. Aku—aku tidak bisa."
Suji menggeleng keras, air mata berlomba-lomba jatuh dari pelupuk. "Aku tidak bisa terus hidup Zeyu. Aku—a-aku.." Suaranya rapuh, gemetar putus asa. "Lebih baik, aku mati. Aku ingin mati."
"Hei, Suji, hentikan!" Zeyu menyentak keras, tangannya menggenggam kedua bahu gadis itu. Alisnya tertukik marah. Dia menggeleng, "Berhenti berkata begitu. Kau—"
"Tidak Zeyu," Suji juga menggeleng. "Ini, ini sakit. Sakit sekali. Aku tidak dibutuhkan, aku tidak diinginkan, aku tidak punya siapa-siapa."
Suji terkesiap di sela tangis, saat Zeyu menariknya dalam pelukan. Hangat. Hangat dan nyaman. Tangan lelaki itu mengusak kepalanya.
"Kau punya aku. Aku menginginkanmu, aku membutuhkanmu." Zeyu berbisik ditelinganya. "Tidak Suji, kau tidak boleh mati. Kau pantas bahagia. Kau pantas hidup. Kau tidak sendirian, aku disini, aku ada disisimu."
Suji terisak semakin kencang. Tangannya tergerak membalas pelukan Zeyu.
"Suji-ah, jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu. Kau tidak pernah sendiri. Berbaliklah untukkku, aku ada disana. Merintihlah padaku, aku akan membalut lukamu. Saat kau tak mampu bertumpu pada kakimu, genggam tanganku. Aku selalu ada."
Mereka berpelukan. Sangat lama. Suara tangis Suji terdengar pilu, menyakitkan diantara derasnya hujan. Zeyu melepas dekapan itu, tangannya singgah di pipi gadis surai legam.
"Aku bersamamu Suji. Aku—" Zeyu bergerak semakin dekat. Sebelah tangan merengkuh pinggang gadis itu. "Aku mencintaimu."
Zeyu menyatukan bibir mereka. Suji meremat jaket yang lelaki itu kenakan dengan erat. Bibir Zeyu bergerak diatas bibirnya, hangat dan basah. Jantung mereka berdebar keras, napas tersendat, tubuh menempel satu sama lain.
Hari itu di derasnya hujan, diantara tangis kesepian, Suji menyadari satu hal.
Dia mencintai lelaki ini.
TBC
hiks hiks :'(
–V–
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely [end•]
RomanceAda begitu banyak hal rumit yang sulit untuk dipahami. Katakan padaku, apa kau pernah membohongi dirimu sendiri? ♡ ××× Ps; saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam membuat cerita ini. Pss; bahasa baku dan teratur. Psss; tidak menerima plagiat...